Lihat ke Halaman Asli

Abdi Galih Firmansyah

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Kemesraan di Tengah Lautan Maiyah

Diperbarui: 6 Januari 2023   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Dari sekian banyaknya pagelaran seni pertunjukan hingga obrolan serius para cendekiawan yang ramai ditonton oleh khalayak khusus dan awam. Maiyah hadir dengan warna khas seni budaya jawa timuran yang sangat piawai dan berhasil menarik banyak peminat. Padatnya jadwal pertunjukan yang digelar di berbagai kota-kota besar tidak menyurutkan semangat arek-arek maiyah untuk bertaut menyambung talu rindu sekalipun jarak yang ditempuh jauh, meskipun cuaca hujan mulai dari perjalanan hingga sampai lokasi pagelaran, bahkan topik pembicaraan kadang kala susah dipahami. Kesemuanya itu, seakan bukanlah halangan yang begitu berarti untuk dilewati.

Sesekali kita berfikir apa spesial nya maiyah ini kok sampai ribuan bahkan jutaan jama'ahnya, tersebar di seluruh nusantara terkhusus tanah jawa.

Mbah Nun sang penyair dan juga cendekiawan, bahkan Ulama ini memang diakui beliau memiliki kapasitas pengetahuan yang luas dan komperhensif. Dari karya-karyanya kita akan tahu betapa indah beliau dalam proses kreatifnya mencipta sebuah karya yang menurut saya susah sekali kalau tidak membaca banyak buku. Bahkan, tidak jarang ditemui dalam buku-bukunya kosakata yang beliau ciptakan sendiri, tidak ada dalam kamus besar bahasa indonesia. Meskipun, paragraf selanjutnya menarasikan makna kosakata tersebut dalam bentuk tersirat. 

Begitupula maiyah, mbah nun pasti membaca banyak sekali tentang indonesia sampai watak masyarakat nya sekalipun. Konsep pagelaran yang dirancang bersama kiai kanjeng adalah sangat kompatibel dengan watak orang jawa, hingga terjadilah kemesraan di tengah lautan maiyah. Saya kerap kali menghadiri pagelaran kiai kanjeng dan mbah nun itu ketika bertepatan di kota saya belajar dan kota kelahiran, yaitu Malang dan Mojokerto. Sebelumnya saya hanya membaca karya karya beliau lewat buku dan lagu, hingga datang melihat secara langsung beliau ngendikan pitutur kehidupan diselingi berdendang tembang dan lagu dengan iringan gamelan yang mengalun yang diubah dari pentatonik menjadi diatonik adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya pribadi. 

Sedikit informasi, sebenarnya gamelan itu bernada pentatonik (do, re, mi, sol, dan la) jadi tidak sembarang lagu bisa diiringi dengan gamelan, hanya nada-nada tembang macapat saja yang bisa, juga kebanyakan lagu daerah jawa, seperti gundhul-gundhul pacul, cublak cublak suwung dan lain sebagainya. Sedangkan nada diatonik adalah kebalikannya (do, re, mi, fa, sol, la, si, kembali do dengan oktaf lebih tinggi) nada ini biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pop misalnya dan genre lain yang muncul di berbagai negara barat.

Pada awalnya, saya tidak begitu tertarik dengan pengajian mbah nun yang terkesan kontroversial tidak bersanad, sudah terlihat dari cara beliau melantunkan ayat hingga kemudian menafsirkannya tidak seperti kiai pada umumnya. Beliau memberikan penafsirannya sendiri tanpa mengutip pendapat ulama' , walaupun hal itu adalah sah-sah saja. Pernah suatu ketika, saya menyimak  mbah nun cerita tentang kanjeng nabi muhammad SAW. Beliau ngendikan kurang lebih seperti ini: Semua orang Arab karakternya keras dan kaku, hanya kanjeng nabi yang lembut dan santun. Nabi hobi berkhalwat di gua hira, Nabi juga suka memakai wangi-wangian. Itukan orang jawa semua, berarti nabi muhammad keturunan...? 

seketika itu, seluruh jama'ah tertawa kaget dengan penjelasan mbah nun. Apakah benar nabi muhammad orang jawa? Yang jelas jawabannya adalah bukan. 

Setelah pengajian mengalir, saya pun sadar bahwa ini bukan urusan ilmu atau pengetahuan saja, ada perkara yang lebih tinggi di atasnya yaitu kemesraan. Majelis maiyah yang terhimpun dari berbagai lapisan masyarakat dan golongan pecah penuh tawa bahagia mendengar dawuh-dawuh nya seakan sekat yang membatasi antar manusia hilang, seolah-olah antara mahasiswa dan siswa SMP, buruh dan guru, ibu-ibu lansia dan perawan muda tidak lagi terlihat statusnya, semua sama, yaitu masyarakat maiyah. 

Setelah itu, dilanjutkan dengan lantunan sholawat kepada kanjeng nabi, hikmat penuh kekhusyukan. Seluruh jama'ah tersihir menuju alam batin dalam jiwanya masing masing, dan ditutup dengan bacaan Do'a.

Hidup itu harus pintar kapan waktunya ngerem dan ngegas

-Emha Ainun Najib

Mojokerto, 6-Januari-2023




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline