Tax ratio merupakan angka banding antara penerimaan pajak dengan pendapatan nasional bruto (PDB). Dalam praktik antar negara, dasar penghitungan penerimaan pajak berbeda-beda, misalnya penerimaan pajak negara, penerimaan perpajakan (semua jenis pajak negara dan penerimaan bea dan cukai), penerimaan perpajakan termasuk pajak daerah (ada yang termasuk dengan retribusi daerah), ada juga yang memasukkan penerimaan dari sumber daya alam dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak).
Walaupun penghitungan antar negara bervariasi, dan beberapa ahli kurang sepaham, sampai saat ini ukuran kinerja penerimaan pajak yang secara global berterima umum adalah tax ratio (rasio pajak). Laporan International Monetary Fund (IMF) menurut data 2011 tax ratio secara luas (penerimaan perpajakan + SDA + pajak daerah) adalah (%): Brazilia 34,2; China 14,9; India 16,4; Indonesia 13,3; Malaysia 18,8; Filipina 14,3; Srilangka 14,3; Thailand 19,5; Turki 32,5; Vietnam 21,5; Low Income Countries 13; Low Middle Income 17,7; dan Low Upper Income 20,7. Dengan pendapatan per kapita USD 4.000, Indonesia termasuk Low Middle Income Countries, namun dengan tax ratio setingkat Low Income.
Rendahnya rasio pajak menunjukkan bahwa melalui sistem perpajakan, pada 2011 Pemerintah hanya mampu menarik 13,3% pendapatan kotor masyarakat Indonesia. Artinya, sisanya sekitar 86,7% pendapatan bruto masih berada di tangan masyarakat. Makin tinggi rasio pajak, makin banyak bagian pendapatan bruto seluruh rakyat yang ditarik jadi dana keuangan publik dalam kas negara.
Akibatnya, makin banyak dana masyarakat yang dapat dipakai sebagai pembiayaan barang dan jasa publik, layanan pemerintah, mbangun ekonomi negara dan buka lapangan kerja sehingga bagian besar rakyat peroleh pendapatan, ngurangi kemiskinan dan kesenjangan serta pemerataan kemakmuran.
Di lain pihak, rendahnya rasio pajak menunjukkan dengan instrumen pemungutan pajak yang pas penerimaan masih dapat ditingkatkan Namun peningkatan penerimaan pajak berakibat mengurangi bagian pendapatan bruto yang berada di tangan rakyat sehingga bisa jadi akan ngurangi daya belinya. Dana demikian, selain dapat dipakai meningkatkan belanja masyarakat sehingga dapat mendongkrak PPN.
Selain itu, juga dapat dipakai meningkakan bisnis dan investasi rakyat sehingga mengangkat kegiatan ekonomi dan pendapatan bruto nasional, pendapatan per kapita, serta kapasitas pemajakan.
Masalahnya apakah dana pendapatan bruto domestik itu sebaiknya berada di tangan pemerintah (rasio pajak tinggi) atau di tangan masyarakat (rasio pajak rendah) tergantung pada nilai produktivias dana yang lebih besar di tangan siapa (pemerintah atau rakyat). Namun, sudah seharusnya cash flow negara harus aman dan terjaga agar layanan pemerintah dan pembangunan memakmurkan rakyat dapat tetap jalan semestinya.
Walaupun secara fiskal ekonomis mengurangi penerimaan, Chelvaturi (dari Nurmantu, 2005) berpendapat penghindaran pajak masih berada dalam bingkai hukum. Penghindaran terjadi karena ada opsi atau pilihan metode penentuan DPP dan TP, rumusan ketentuan ambigu (mendua atau multi tafsir), atau celah hukum lainnya yang sebagai pengusaha rasional yang memaksimumkan manfaat ambil alternatif tersebut.
Dalam praktik, penghindaran juga dapat merujuk pada pengurangan jumlah pajak terutang melalui rekayasa artifisial transaksi personal atau bisnis dengan pemanfaatan celah hukum (loopholes), ketidak jelasan, ambiguitas atau anomali UU.
Di lain pihak, pengelakan pajak merupakan pengurangan atau eliminasi utang pajak secara melawan hukum, misalnya dengan eliminasi/omisi objek pajak, atau penyembunyian transaksi kena pajak, understatement income, overstatement expenses, improper claim of tax deduction, dan kecurangan lainnya.
Selaras dengan unsur seni dalam perpajakan, seperti kebijakan/UU pajak sebagai seni probabilitas mungkin-tidak mungkin (membuat suatu yang tidak mungkin jadi mungkin dengan rumusan fiksi dalam UU), administrasi pemungutan sebagai seni cabut bulu angsa sebanyak mungkin tanpa lengkingan, Hakim Redy dari India (dari Roy Rohatgi, 2002, Basic International Taxation) sebut penghindaran sebagai seni kurangi atau eliminasi utang pajak tanpa langgar hukum (bebas dari kewajiban bayar pajak tanpa hindari utang pajak).