Lihat ke Halaman Asli

Mengenalkan Kartini pada Bapak

Diperbarui: 21 April 2016   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          “Kamu ujian kapan Din?” tanya bapak ketika makan malam bersama.

“Bulan April pak” jawabku singkat.

“Kamu langsung kerja aja ya, nggak usah kuliah” kata bapak, memandang lekat ke arahku. Aku hanya diam tak berkomentar. Nafsu makanku lenyap begitu saja, aku ingin meninggalkan meja makan tapi nasi di piring belum habis dan itu akan membuat ibuku marah. Segera ku habiskan makan malamku dan pamit ke kamar. Logikaku seketika terus memutar kembali kata-kata bapak, bagaikan petir di malam hari. Tapi aku tahu, perang belum di mulai. Meski raja mengatakan perang, perang itu belum tentu benar terjadi jika prajuritpun tidak mengatakan perang.  Aku melupakan kejadian di meja makan, aku menganggap malam ini tidak terjadi apa-apa.

            Sepertinya keadaan tidak memihak kepadaku atau keadaan sedang mengujiku. Ujian satu bulan lagi, di kelas sudah ramai membicarakan tentang rencana mereka setelah lulus. Hari ini telingaku cukup panas dengan satu pertanyaan sama tapi terlontar dari banyak orang. Tidak hanya teman sekelas ataupun teman satu angkatan, guru dan adik kelas yang mengenalku menanyakan satu hal yang sama kepadaku.

“Mau kuliah dimana Din?”

Ketika di ujungkan dengan pertanyaan itu, aku hanya bisa menjawab dengan senyuman dan berpura-pura belum memfikirkan hal itu. Di saat aku ingin menghentikan perjuanganku di dunia pendidikan, mengapa mereka begitu peduli dengan kelanjutan pendidikanku? Mereka terus memberi saran untuk masuk ke universitas ini dengan alasan ini dan menyarankanku untuk mengambil jurusan ini dengan alasan aku ada bakat dan sebagainya. Otakku seakan meledak dengan pertanyaan dan saran-saran mereka, dilain sisi aku harus mengubur dalam mimpiku sementara mereka terus menguatkanku untuk maju.

Aku mencoba menenangkan diri, untuk saat ini aku tidak peduli bagaimana nanti keputusan akhir dari harapku. Aku hanya bisa berusaha dan mencoba menjadi yang terbaik di ujian nasional nanti. Tapi otak ini telah teracuni sebuah kalimat yang terus mengalir menggrogoti semangat belajarku. Sampai ku temukan sebuah pertolongan dari seseorang, tapi aku tidak tahu tepatnya ini sebuah hidayah-Nya atau musibah. Teman guru BK sekolahku, mencari anak lulusan tahun ini untuk dikuliahkan. Ketika ku dengar tawaran itu tertuju untukku, pintu hatiku terbuka begitu saja dengan semerbak bunga yang bermekaran. Aku mengiyakan tawaran itu tapi belum sepenuhnya aku menerima tawaran itu karena aku tidak tahu apa kata orang tua dan saudaraku nanti.

Mungkin bagi mereka, aku seorang yang beruntung disekian ribu orang yang mengharap sebuah keajaiban untuk mimpinya. Tapi dan terus tapi datang di hidupku. Hal itu tidak berlaku di hidupku. Orang tua dan saudaraku meragukan keputusanku untuk menerima tawaran itu. Aku ingin membrontak tapi ku rasa tidak memiliki hak untuk melakukannya. Kembali ku pendam, apa yang ingin ku katakan kepada mereka. Hariku suram, ujian di depan mata bukan semangat belajar yang semakin membara tapi kekecewaan yang meletup-letup. Ingin ku hentikan air mata ini tapi dia terus mengalir tak mengenal waktu dan tempat. Apakah begitu dalamnya luka yang kini ku rasa? Terkadang aku menanyakan sikapku ini tapi aku tak kunjung menemukan jawabannya.

“Yang terpenting, sekarang kamu harus fokus sama ujian nasional. Kamu harus buktikan kepada mereka bahwa kamu bisa dan masalah restu kamu harus yakin kepada dirimu sendiri. Jika kamu memang menginginkan itu, kamu tidak perlu takut untuk mengambilnya meskipun mereka tidak setuju. Saya yakin mereka melarangmu karena mereka meragukan kamu dan tugas kamu tinggal meyakinkan mereka. Maju saja jika kamu punya niat, insyaallah Allah meridohi. Insyaallah kamu tidak akan menjadi anak yang durhaka, buktikan kalau kamu bisa.”

Di sebuah ruang kelas yang sudah sepi, aku menyempatkan diri untuk berbagi ke salah satu guru yang dekat denganku. Gemricik air hujan mengiringi tangisku di sudut ruang kelas ini, ku resapi setiap motivasi dan dukungan darinya. Aku hanya bisa berandai di waktu itu, andai saja yang berbicara seperti itu salah satu anggota keluarga. Pasti hati ini akan bangkit dari kegundahan ini, tapi ia yang terus berada disampingku senantiasa mengulurkan tangan disetiap aku terjatuh hanya orang luar.

Ujian berakhir, aku masih dihantui dengan kenyataan pahit yang akan ku terima dalam waktu dekat. Aku akan melepas seragam putih abu-abu dan aku akan menghapus air mataku sendiri ketika jiwa ini sampai di titik lelah. Tidak ada lagi sosok sahabat yang akan menguatkanku meskipun hatinya sedang kacau. Hati ini tak hentinya berdoa, kenyataan baik lah yang harus ku jalani nantinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline