Lihat ke Halaman Asli

Sungai Musi, Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi

Diperbarui: 30 September 2015   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini cerita saya, tatkala menjalani kehidupan empat bulan di Kota Palembang. Kota yang tersohor dengan jembatan ampera dan empek-empeknya. Tak hanya menyisakan butiran sejarah kemasyhuran Nusantara, tetapi juga menawarkan seribu keindahan. Dan saya pun terpesona dengan ketenangan di sebuah tempat bernama Sungai Musi.

Sepintas, tak ada yang istimewa dari Sungai Musi. Definisinya sama selayaknya sebuah sungai. Ada air, hulu, hilir, hingga rimbunan flora di tepiannya. Namun, di mata saya, Sungai Musi adalah surga kecil yang jatuh ke bumi. Saya merasakan jantung-jantung berdetak di sini. Hembusan nafas terdengar jelas dari dasar bumi. Sepertinya, ketika Sungai Musi alirannya berhenti, tidak ada kehidupan lagi.

Ada banyak cara untuk Anda yang ingin menikmati eloknya Musi. Speed boat, kapal ketek, dan kapal wisata akan mengantarkan Anda menelusuri setiap jengkal kelokan Sungai Musi. Jika Anda berwisata di siang hari, pemandangan rumah rakit, pulau kemaro, masjid lawang kidul, Masjid Ki Marogan, Bagus Kuning, Kampung Kapitan, dan Jembatan Ampera, terlihat amat jelas. Kecantikan Sungai Musi kian nampak saat malam tiba. Anda akan menyaksikan kilauan lampu-lampu di jembatan ampera. Tampilannya bak jembatan London KW lima. Tapi, tidak kalah cantiknya.

Sungai Musi, bagi saya, lebih dari sekedar tempat wisata. Sungai Musi juga inspirasi buat saya. Sebait kisah telah tertinggal di sana. Kisah yang kandas pada akhirnya. Dan melahirkan satu bait puisi ungkapan jiwa.

"Ada yang kurindukan, entah sampai kapan. Sebentuk udara yang bergerak-gerak di atas kebeningan musi, tatkala itu ekor mataku mendapati langkahmu. Tegas, melelehkan sebutir es yang lama sekali membeku di hati.

Aku ingin sekali lagi menukarkan waktu untuk mendengarmu mengucap namaku. Tetapi dongeng cinderella selalu mendekapkan ketakutan teramat dalam, sebab dongeng tak lebih dari sekedar imaji tentang tentang kastil dan pangeran tampan berkuda putih.

Hingga gemertak air langit bergemuruh di atap rumah, kornea mataku masih saja memutar liar dan jauh, episode terakhir kita di hantaran ampera."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline