Lihat ke Halaman Asli

Alunan Kidung Kelu di Tukad Yeh Ho: Hidup Pencari Batu dan Pasir

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kidung indah mengalun diiringi langkah sepasang kaki menyusuri sungai. Tanpa alas kaki dan ditemani cahaya sang surya, sepasang kaki itu terlihat berjalan menuju suatu tempat. Sebut saja namanya Dewa Ketut Sukanada, pencari batu dan pasir yang bermukim di Banjar Tebubiu Kaja, Tabanan.

Harus menafkahi hidup kedua orang tua dan anak-anak yang masih kecil membuat ia menjadi tumpuan hidup keluarga. Sebutir beras pun akan menjadi sangat berarti bagi mereka. Tak nyana penglihatannya yang terganggu sejak tahun 1989 membuatnya sulit untuk bekerja, untuk mengenali orang pun ia juga merasa sulit kecuali orang tersebut memberikan namanya.

Sukanada kerap merasa kesepian, perannya saat ini tidak hanya sebagai seorang ayah saja bagi kedua anaknya yang masih duduk kelas 2 SMP dan 3 SD, tapi juga sebagai seorang ibu. Istri Sukanada sudah berpulang sejak 8 bulan yang lalu, sakit maag yang di derita sejak tahun 2000 ternyata berdampak kepada jantungnya dan akhirnya meninggal dunia setelah sempat tiga kali opname di Rumah Sakit Tabanan.

“Menurut ayah saya sebenarnya kami memiliki tanah, saya tiga bersaudara dan saudara saya sudah menjual tanah untuk transmigrasi ke Sumatera. Sekarang hanya tersisa rumah ini,” papar Sukanada. Kondisi orang tua Sukadana juga tidak memungkinkan untuk bekerja lagi.

Pendapatan Sukanada per hari hanya Rp20.000,00 sedangkan dia harus memberi bekal Rp10.000,00 kepada dua anaknya dan tentu saja Rp10.000,00 untuk 2 kilogram beras per hari. Pemerintah juga memberi bantuan beras 10 kilogram per bulan, tapi diakui Sukanada hal itu masih kurang, walaupun ia sangat berterima kasih atas bantuan yang diberikan.

Hal ini dibenarkan I Nyoman Sugita, Kelihan Banjar Tebubiu Kaja, “Di sini pekerjaan utama penduduk ini adalah sebagai petani ketika selesai mereka pergi mencari batu dan pasir. Bagi yang tidak memiliki lahan maka terpaksa dari pagi sudah bekerja di galian,” katanya. Dulu sewaktu air sungai masih besar masih gampang untuk mencari tapi semakin lama semakin sulit. Pembeli juga sering sepi. Kadang-kadang dua truk per hari atau malah tidak ada sama sekali. Pada dasarnya Sukanada tetap menyukai profesinya ini. Walaupun banjir baginya tidak masalah.

“Menurut saya Sukanada orangnya sangat berani. Sewaktu air sungai besar dia tetap mencari pasir dan batu,” kata Dewa Putu Tjardia. Bagaimanapun juga kondisi galian c sebenarnya sudah tidak memadai karena tanahnya yang terus tererosi. Drs. Dewa Wayan Westa, pemilik tanah, merasakan dilema pada masalah ini. Di satu sisi dia mengetahui bahwa ini berbahaya dan dapat mengancam nyawa seseorang, tapi di lain sisi ini juga memberi penghidupan kepada masyarakat setempat.

Sedangkan di lain pihak, kondisi penglihatan Sukanada yang buruk tidak memungkinkan dirinya jika ada gotong royong di banjar. Sehingga ayah dari Sukanada, Dewa Ketut Rodo yang akhirnya mengalah dan mengikuti kegiatan di banjar.

Harapan Sukanada sebenarnya tidak muluk, ia hanya ingin kedua anaknya dapat menyelesaikan sekolahnya. Sukanada juga akan berterima kasih jika pemerintah membantu dan lebih prihatin terhadap masalah Galian C. Seandainya galian tersebut harus ditutup, pemerintah harusnya sudah menyiapkan lapangan pekerjaan yang lain.

Sebuah harapan kecil yang ingin di wujudkan semua masyarakat di Banjar Tebubiu Kaja yaitu mendapat penghidupan yang lebih baik dan layak. Entah sudah sampai dimana Sukanada berjalan? Sekali lagi yang terdengar hanya alunan kidung indah mengiringi langkah Sukanada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline