Lihat ke Halaman Asli

Perkawinan Antar Etnis, Picu Disharmoni, Kikis Keyakinan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semula menjadi ikon. Namun perlahan, berbalik menjadi boomerang.

Itulah sepintas gambaran tentang interaksi Suku Bugis dengan masyarakat lokal di Serangan. Interaksi antara dua komunitas beda suku dan agama ini, memang patut diacungi jempol. Kerukunan dan persaudaraan yang terjalin sangatlah lekat. Bahkan terlalu lekat. Hingga berkembang menjadi semangat komunitas yang mencampuradukkan antara keragaman dengan keagamaan.

Perkawinan antar suku di wilayah ini, adalah salah satu bukti nyata. Interaksi masyarakat multikultural ini, tak hanya sebatas pada bidang sosial budaya semata. Namun telah merambah pada tahapan yang lebih mengikat, yakni perkawinan. Inilah yang justru menyebabkan terjadinya gesekan antara interaksi multikultural dengan keyakinan agama.

“Perkawinan antara warga kampung Bugis dengan masyarakat Serangan memang cukup banyak terjadi. Jalur inilah yang semakin mempererat tali persaudaraan dan semangat kebangsaan antar dua komunitas ini,” terang Muhammad Muhadi, kepala lingkungan Kampung Bugis, Kelurahan Serangan.

Perkawinan, memang merupakan salah satu benang merah yang mempererat tali persaudaraan dua komunitas ini. Namun sekaligus menjadi boomerang bagi masyarakat Hindu Serangan. Tengok saja, saat ini telah terjadi sekitar 25 perkawinan antara suku Bugis dan umat Hindu Serangan. Dan seluruhnya melibatkan individu beragama Hindu Bali yang berpaling menjadi Islam Bugis. Sedangkan lintas agama dari pihak Islam Bugis ke Hindu, tampak sangat jarang bahkan tidak ada sama sekali.

“Adik saya menyukai seorang gadis dari Kampung Bugis, namun belum sampai pada ikatan perkawinan. Ini karena pihak wanita meminta adik saya untuk pindah agama Islam, sedangkan kami dari pihak laki-laki tidak setuju,” tutur I Wayan Karma, salah seorang warga Hindu Serangan.

Memang mayoritas pelaku perkawinan dengan lintas agama ini, adalah truni Serangan. “Dibanding laki-laki, beban seorang gadis Bali dari segi tradisi adat, sosial dan kehidupan agama, memang cukup besar. Ini adalah salah satu faktor yang memicu mayoritas pelaku perkawinan diikuti dengan lintas agama adalah perempuan,” ungkap I Wayan Geriya, seorang antropolog, purna bhakti jurusan Antropologi Faksas Universitas Udayana.

Perkawinan antar etnis Bugis dan Bali ini, sesungguhnya dapat memicu timbulnya ketimpangan kerukunan, atau situasi disharmoni. Hal ini dikarenakan, terjadi imigrasi wanita dari umat Hindu Serangan ke Islam Bugis secara total. Yakni sebesar 100% dari jumlah perkawinan antar etnis yang terjadi. Sedangkan pergerakan lintas agama melalui perkawinan,dari Islam Bugis ke Hindu dilambangkan dengan 0%, atau tidak ada sama sekali. “Ini mengindikasikan bahwa gerak orang Bali lebih mudah diubah. Atau secara tidak langsung menunjukkan bahwa individu Bali sangat cepat menerima pengaruh dari luar,” ujar I Wayan Geriya.

Benang merah antara Kampung Bugis dengan masyarakat lokal Serangan, tak berhenti sampai disana. Amati saja keseharian komunitas beda suku ini. Tak jarang ditemukan warga Kampung Bugis yang fasih menggunakan bahasa Bali sehari-hari. Tak tanggung-tanggung, bahasa yang digunakan bahkan tergolong bahasa Bali yang cukup halus. Sebaliknya, tak satu pun masyarakat lokal Serangan yang menguasai bahasa Bugis. “Tak heran warga Kampung Bugis ada yang bisa menguasai bahasa Bali dengan fasih. Karena sebenarnya ada beberapa warga kampung tersebut, yang merupakan keturunan Hindu Bali asli. Namun karena alasan faktor ekonomi, lagi-lagi jalan lintas agama itu dipilih,” ungkap I Wayan Karma, berdasarkan cerita leluhurnya.

Kedua kasus tersebut, tentu menunjukkan betapa dampak multikulturalisme dapat menerobos jauh pada wilayah nilai-nilai intrinsik suatu keyakinan agama. Saat nilai agama sudah dilenturkan untuk mengikuti irama masyarakat yang plural, maka batas-batas identitas suatu komunitas beragama dipastikan akan semakin kabur. Kurang kokohnya keyakinan dan pendalaman tentang ajaran agama, adalah faktor utama pemicu timbulnya degradasi nilai suatu agama. Selain itu faktor ekonomi, penemuan jati diri, status, dan penghargaan yang diperoleh di komunitas yang baru, juga turut andil dalam hal ini.

Namun dalam interaksi budaya yang melibatkan degradasi nilai dan keyakinan agama ini, semangat kebangsaan yang tercipta justru semakin besar. Sungguh ironis, saat interaksi yang terjalin semakin erat, nilai agama justru terkikis.

Generasi muda yang masih labil adalah subjek yang paling mendominasi lahirnya fenomena ini. Bagi mereka, agama bukan hanya diakui sebagai kekayaan yang unik. Tetapi merupakan sesuatu yang bisa lebur dalam pencampuran budaya yang diakui sebagai milik bersama. Akibatnya, generasi muda akan terjerat dalam suatu kepribadian ganda atau bahkan kehilangan jati diri mereka sama sekali.

Karena itu perlu dibangun fondasi yang cukup kuat pada suatu komunitas tertentu agar tidak mudah terbawa arus. Penekanan pendidikan agama sejak dini, adalah salah satu alternatif yang dapat ditempuh.Melalui pendidikan agama yang tepat, tentu akan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan suatu karakter individu. “Apalagi seiring perkembangan zaman, penjumpaan multikulturalisme di suatukawasan tak dapat dibendung lagi. Pendalaman ajaran agama dapat menjadi benteng pertahanan yang kuat, untuk membendung pengaruh luar,” ungkap I Wayan Geriya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline