Saat ini perkembangan teknologi berjalan dengan sangat pesat dan kita hidup seakan-akan tidak bisa lepas dari kehidupan kedua kita di media sosial. Data Reportal melaporkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia pada bulan Januari 2023 berada di angka 167,0 juta pengguna atau sekitar 60,4 persen dari total populasi di Indonesia. Dengan fakta tersebut kita mengetahui bagaimana berpengaruhnya media sosial terhadap penyebaran informasi di masyarakat. Selain itu, faktor kepraktisan dan efisiensi menyebabkan masyarakat banyak mencari informasi melalui media sosial.
Tapi jangan salah, dibalik kemudahan mendapatkan informasi di media sosial, banyak juga berita-berita hoaks yang tersebar terutama menjelang event pemilihan presiden (pilpres) 2024. Hal ini sebagian besar dipengaruhi karena tidak adanya fungsi gatekeeper yang menyaring kualitas berita di media sosial. Jika individu tidak teliti, membandingkan dengan sumber lain, dan menganalisis sumber data dalam berita, maka bisa dipastikan kemungkinan besar individu tersebut dapat ditipu oleh berita hoaks. Maka dari itu kemampuan literasi media digital sangat dibutuhkan untuk menyaring berita-berita yang kita konsumsi
Dari beragam media sosial yang ada, terdapat tiga media yang memiliki paling banyak pengguna di Indonesia yaitu: Instagram, Facebook dan Tiktok (We Are Sosial, 2023). Guna memaknai lebih dalam fenomena kampanye menggunakan media sosial, saya akan memfokuskan penelitian saya menggunakan studi kasus dari media sosial Instagram dengan bantuan Meta Ads Library untuk menemukan data-data terkait penanyangan iklan di platform tersebut. Pencarian data yang saya gunakan akan menggunakan beberapa batasan berikut: menggunakan Bahasa Indonesia, lokasi penerima iklan berasal dari seluruh wilayah Indonesia, merupakan iklan aktif dari tanggal 1-5 Februari 2024, platform yang digunakan Instagram menggunakan semua jenis format media (gambar, video, dan lain-lain),dan menyasar semua pengiklan tanpa batasan estimasi pengikut. Lalu kata kunci yang saya gunakan adalah "Anies", "Prabowo", dan "Ganjar".
Dari penelitian yang saya lakukan dengan kata kunci "Anies "ditemukan 550 tayangan iklan, 150 iklan dari kata kunci "Prabowo" dan 180 tayangan iklan dari kata kunci "Ganjar". Penayang iklan dengan kata kunci "anies" didominasi oleh: calon legislatif yang berasal dari partai yang sama, relawan pendukung, key opinion leader (KOL), akun partai tingkat Kota/Kabupaten. Lalu dalam kuantitas kecil ada akun yang membahas politik dan akun pendukung paslon lain. Selanjutnya, penayang iklan dengan kata kunci "prabowo" didominasi oleh: akun membahas politik, relawan pendukung, pendukung paslon lain, dan KOL. Dalam jumlah kecil ada iklan yang ditayangkan oleh akun parta pendukung dan calon legislatif yang berasal dari partai yang sama. Terakhir, penayang iklan dengan kata kunci "ganjar" didominasi oleh: akun resmi Ganjar Pranowo, relawan pendukung, KOL, dan akun yang membahas politik. Dalam kuantitas kecil penayang iklan berasal dari calon legislatif yang berasal dari partai yang sama dan penjual kaos kampanye.
Isi konten dengan kata kunci "anies" meliputi: meme politik, mohon dukungan dari calon legislatif partai yang sama, stich pembicaraan anies dalam debat, testimoni dari orang yang mengenal anies, testimoni orang yang dibantu partai pendukung, dan argumentasi pendukung paslon lain terhadap program kerja (proker) anies. Lalu isi konten dengan kata kunci "prabowo" yaitu: dukungan relawan, meme politik, ujaran kebencian, argumentasi pendukung paslon lain terhadap proker prabowo, penjelasan proker prabowo oleh partai pendukung, dan mohon dukungan dari calon legislatif partai yang sama. Terakhir, isi konten dengan kata kunci "ganjar" yaitu: perjalanan politik Ganjar, meme politik, dukungan relawan, info penjualan kaos kampanye, info event kampanye, argumentasi pendukung Ganjar terhadap proker paslon lain, dan ucapan dukungan dari partai pendukung.
Dari penelitian yang telah saya lakukan terhadap fenomena kampanye media sosial di Instagram tersebut ada beberapa hal yang sadari. Sisi positifnya meliputi kemudahan dalam: perolehan informasi terkait acara kampanye paslon yang kita dukung, perkembangan hasil debat calon presiden (capres), dan media untuk mengekpresikan argumentasi kita terhadap proker capres tertentu. Hanya saja ada sisi negatif yang baru saja saya sadari dan mungkin tidak saya ketahui jikalau saya tidak melakukan penelitian ini. Sisi negatif dari kegiatan kampanye di media sosial yang paling saya rasakan adalah rawannya manipulasi opini publik oleh penayang iklan yang menyebarkan konten dengan kuantitas banyak.
Hal ini sudah sering saya dengar, hanya saja saya belum mengakuinya. Setelah meneliti fenomena ini secara mendalam barulah saya percaya karena melihat sendiri. Ketika kita secara terus-menerus diterpa informasi dengan pandangan negatif terhadap salah satu tokoh, secara secara tidak sadar hal itu akan memengaruhi opini kita terhadap kredibilitas tokoh tertentu. Hal ini mungkin yang menjadi alasan mengapa di beberapa negara, dana kampanye itu dibatasi dengan jelas. Sebagai pengguna media sosial kita perlu mengkritisi setiap konten yang kita konsumsi, karena terbukti dari konten yang tersebar di media sosial bisa saja ada usaha yang dilakukan untuk melakukan praktik manipulasi opini secara sistematis.
Namun tenang, hal ini bisa diatasi dengan berusaha mencari sumber informasi lain dari sumber yang kredibel. Misalnya anda bisa mencari informasi seputar Pilpres 2024 melalui website Bijak Memilih. Bijak memilih adalah sebuah gerakan independen, dan tidak terafiliasi kandidat atau partai politik tertentu sehingga memungkinkan netralitas informasi yang dibagikan. Anda juga bisa memilih sumber informasi lain sebagai pembanding keberanaran informasi asalkan jangan berpatokan dengan satu sumber apalagi yang tidak kredibel. Tindakan antisipasi dan analisis kebenaran konten ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan literasi media digital, dengan literasi media digital bisa dipastikan bahwa opini anda tidak akan mudah untuk dimanipulasi
Tantangan terbesar dalam fenomena kampanye di media sosial yang saya temukan jelas adalah masalah regulasi kampanye. Saya rasa di Indonesia, regulasi kampanye di media sosial masih belum detail dan ketat dalam pemberian sanksinya. Misalnya ada aturan yang membatasi jumlah akun kampanye sebanyak 20 akun. Namun praktiknya tetap saja ada kampanye ilegal atau manipulatif di luar jumlah akun tersebut (Pahlevi dalam CNN Indonesia, 2023).
Lalu sebagai masyarakat, upaya literasi media digital seperti apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi tantangan tersebut? Pertama-tama, hal yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi diri sendiri dengan mempelajari mengenai regulasi kampanye di media sosial yang benar. Setelah mengetahui batasan-batasan yang perlu diikuti pelaku kampanye, anda bisa langsung mempraktikkan ilmu tersebut atau jika memiliki kapasitas lebih, anda bisa menyuarakan pendapat dalam pembuatan kebijakan terkait regulasi kampanye di media sosial. Ketika memiliki pengetahuan yang cukup mengenai mana yang benar dan mana yang salah, anda akan lebih peka terhadap praktik kampanye ilegal dan manipulatif dan dapat melaporkannya ke pihak berwenang.
Pemerintah juga dapat mengambil bagian dalam perubahan yang lebih positif dalam penerapan regulasi kampanye media sosial dengan mempelajari kembali dan memperbaiki bagian regulasi yang belum sempurna. Harapan dari situ, terciptalah ekosistem kampanye Pemilu yang lebih jujur dan adil. Lebih bagus lagi jika pemerintah dapat berkolaborasi dengan masyarakat dan lembaga independen yang memliki kepedulian pada isu pilpres 2024, sehingga dapat memberikan fasilitasi pendidikan literasi media digital menjelang Pemilu kepada masyarakat. Dengan lebih banyak kolaborasi maka akan semakin besar dampak positif yang bisa dirasakan masyarakat. Demikian opini saya terhadap isu kampanye di media sosial secara khusus Instagram. Semoga dapat menambah pengetahuan dan membantu menghindari praktik manipulasi opini disekitar anda. Pemilu nanti jangan golput ya...