Bertahan dan binasa. Dua kata tersebut begitu benar dan begitu memilukan, menurutku. Bagaimana kalimat tersebut menggambarkan apa yang kita lakukan selama ini: bertahan. Sekolah, bekerja, mengasuh anak, menangis : kita semua bertahan -- sekaligus binasa perlahan. Tidak ada yang tahu kapan, namun adalah sebuah kepastian yang tidak terelakkan lagi bahwa kita akan binasa.
Total sebanyak 19 cerpen dengan berbagai kisah dan latar waktu. Tidak heran, pembuatan buku ini memakan waktu hingga satu dekade dalam penulisannya (2007-2017). Beberapa kisah mengusik hati, memberitahuku dan mengingatkanku bahwa kehidupan jauh lebih keras dari apa yang aku (dan mungkin kalian) keluhkan setiap harinya.
Cerpen yang kemudian judulnya dipakai dalam buku ini memang merupakan salah satu yang terbaik menurutku. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana kisahnya,
Menceritakan tentang perjalanan menyeberang pulau, dengan iming-iming kesejahteraan yang palsu. Mengorbankan anak semata wayang, meninggalkannya di laut.
"Aku ikhlas. Aku lila. Ora opo-opo. Aku mung pengin anakku dikubur koyok normale menungso. Ojo diguwak neng segara." (hal.35)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H