Lihat ke Halaman Asli

Meaningful

Diperbarui: 11 Agustus 2024   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Curhat yang panjang

Ketika saya masih duduk di sekolah dasar kelas 6,  kurang lebih 40 tahun yang lalu, saya mempunyai seorang guru kelas yang bertugas mengajar seni rupa, terutama menggambar. Teori menggambar beliau sampaikan pada saat memberi contoh gambar, tidak pernah ada catatan. Setiap minggu ada 2 jam pelajaran untuk menggambar. 

Bahkan kami pernah bersepeda ke pinggiran kota demi untuk melihat pemandangan sawah-sawah dan pegunungan dan langsung membuat sketsa di sana. Jelas teringat dan terekam dengan baik di otak saya, hal-hal yang beliau sampaikan saat itu. Banyak keterampilan seni dari beliau saya praktekkan pada anak-anak saya berdasarkan ingatan saya tentang materi yang pernah beliau sampaikan.

Secara tidak sengaja, seminggu yang lalu saya berada di dalam kelas ketika rekan guru saya mengajar seni rupa di kelas 2. Rekan saya ini meminta peserta didik untuk mengeluarkan buku tulis, kemudian meminta peserta didik untuk menyalin tulisan dari power point yang telah beliau buat. 

Dalam kelas tersebut terdapat beberapa orang anak yang memang lambat dalam menulis, berkali-kali anak-anak ini diingatkan agar lebih cepat supaya tidak tertinggal. Menurut pengamatan saya, teman saya ini agak kewalahan dengan peserta didik yang lambat menulis. Dia mengganti slide demi slide dengan bolak-balik mendatangi para murid yang perlu dibantu. 

Saya merasa heran dengan pilihan teman saya untuk mencatat pelajaran seni rupa untuk peserta didik kelas 2. Mengapa dia tidak memilih langsung praktek dari teori-teori tersebut. Hal yang diteorikan adalah tentang titik, garis lengkung, garis lurus, dan beberapa jenis garis yang lain. 

Juga ada teori tentang warna, peserta didik menulis warna primer, sekunder, dan tersier. Menurut saya, akan lebih menyenangkan dan bermakna jika peserta didik langsung saja diajak untuk membuat berbagai macam garis di buku gambar atau mencampur warna. Saya belum sempat bertanya apa alasan rekan saya memilih menulis teori daripada praktek. Tetapi saya bisa menebak alasan itu, yaitu karena waktu beliau mengajar seni itu hanya 35 menit dan juga ada penilaian teori.

Jika yang dipentingkan adalah penilaian teori maka keterampilan dan kebermaknaan tidak akan dimiliki oleh peserta didik. Pembelajaran yang dilakukan oleh rekan saya tadi boleh dikatakan sebagai gaya pembelajaran tradisional, yang penting hafalan teori sedangkan praktek nanti saja kalau ada waktu.

Dalam pandangan saya, pilihan teman saya itu kurang bijaksana. Karena yang namanya keterampilan itu harus mendapatkan banyak waktu untuk praktek agar terampil. Peserta didik seharusnya didorong untuk memahami konsep sekaligus mempraktekkan. Hal ini membuat peserta didik lebih terlibat dalam proses belajar dan membantu mereka melihat relevansi konsep dan tindakan nyata. Apalagi peserta didik kelas 2 masih dalam tahap operasional kongkrit, semakin nyata teori itu semakin dalam pemahaman peserta didik akan konsep tertentu.

Yang dapat saya simpulkan dari pengalaman ini adalah menghafal teori tidak seharusnya diberikan untuk pelajaran yang penilaiannya berupa keterampilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline