Lihat ke Halaman Asli

Titenono: Keadilan Jalur Alam

Diperbarui: 13 Oktober 2024   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: creativemarket.com

Ada masanya manusia merasa berhak bertindak semaunya. Tidak selalu buruk, karena manusia memiliki kehendak bebas dalam berpikir, berbicara, bertindak, dan berperilaku. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah tindakan yang merugikan orang lain, meski tujuannya adalah memajukan kepentingannya sendiri.

Sekali lagi saya tergerak untuk mengulas kata yang menarik dalam bahasa Jawa, "Titenono", yang berarti "Lihat saja nanti".

Sebuah pengembangan dari kata "Titen", yang sesungguhnya berasal dari kata dasar "Titi", dengan arti melihat, memperhatikan, atau menelaah.

Budaya Jawa juga memiliki Ilmu Titen, bertujuan memahami alam semesta melalui proses penelitian dan pengamatan. Sebuah ilmu yang memberikan visi berdasarkan gejala dan tanda yang muncul, hingga dapat menopang peradaban masyarakat hingga saat ini.

Saya kemudian menarik kesinambungan antara Ilmu Titen dengan keberadaan Primbon, Pasaran, Neptu, yang menjadi upaya menelaah karakter seseorang berdasarkan waktu lahir.

Kembali ke kata yang ingin saya ulas. Keinginan ini saya temukan ketika berdialog dengan Ibu saya, yang lahir, hidup dan dihidupi dari budaya Jawa. Kata "Titenono" muncul ketika menceritakan pengalaman di mana terdapat tindakan yang telah merugikan orang lain dengan motif yang tidak terpuji.

Konsep "Titenono" menjadi semakin menarik karena tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, tetapi juga masyarakat, budaya, dan alam semesta. Kepercayaan bahwa alam semesta memiliki cara dan sistem yang kadang tidak dapat kita duga, "Titenono" bagi saya konsepnya sama dengan karma dan tabur tuai. Setiap tindakan, baik maupun buruk, akan memiliki konsekuensi.

Muncul kesan bahwa dengan kata tersebut, penegakan keadilan dengan pembalasan secara tersurat bukanlah sebuah opsi. Sebuah pendekatan resolusi konflik yang berakar pada budaya (karena terkadang, keadilan dapat dimonopoli).

Terkadang manusia terlalu gegabah dan mendasarkan pembalasan atas irasionalitas.

Berkaitan dengan pemikiran bahwa mata harus diganti mata, penggunaan "Titenono" dapat dimaknai sebagai peredam atas amarah dan tindakan yang (mungkin) akan menyertai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline