Bangsa Indonesia yang merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau memiliki banyak serta beragam juga kebudayaannya mulai dari Sabang sampai Merauke. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu di Indonesia memiliki ciri khasnya masing-masing. Adanya ciri khas kebudayaan pada masing-masing daerah ini membuat tradisi yang ada di dalamnya pun juga beraneka ragam. Perbedaan tradisi pada setiap daerah didukung oleh adanya kearifan local yang terdapat pada daerah tersebut. Makna kearifan local sendiri dapat didefiniskan sebagai perangkat pengetahuan dan praktek-praktek pada suatu komunitas baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari suatu pengalaman yang berhubungan dengan lingkungan serta masyarakat lainnya untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan kesulitan yang dihadapi baik yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak (Putra, 2019).
Sifat bangsa Indonesia yang heterogen ini mendorong terciptanya banyak kearifan local yang terdapat di setiap jengkal wilayah di Indonesia, Adapun salah satu wilayah yang akan dibahas saat ini adalah Pulau Jawa, lebih tepatnya Jawa Timur, Ponorogo. Kota yang terkenal akan kesenian Reognya ini memiliki sebuah tradisi yang di dalamya terkandung kearifan local, tradisi ini masih dilakukan hingga sekarang dengan alur prosesi yang masih sama dan tidak berubah. Tradisi tersebut biasa disebut dengan Grebeg Suro. Alasan diberikannya nama Grebeg Suro adalah karena tradisi ini dilaksanakan pada 1 Suro atau 1 Muharam pada kalender Islam. Dikutip dari website Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta makna kata "Grebeg" sendiri adalah berasal dari kata Grebe, Gerbeg, Grebeg dalam Bahasa Jawa yang memiliki makna suara angin. Selain itu ada kata Anggrebeg dalam Bahasa Jawa yang memiliki arti mengiring Raja, pembesar atau pengantin. Grebeg Suro merupakan agenda tahunan yang selalu dilaksanakan di Ponorogo selama 1 tahun sekali. Pada agenda ini terdapat Festival Reog Nasional, Kirab Pusaka, dan Larung Risalah atau Larung Sesaji, sebenarnya kegiatan yang termasuk ke dalam agenda ini, namun beberapa yang banyak diketahui masyarakat adalah seperti yang disebutkan.
Larung Sesaji atau Larung Risalah menjadi salah satu tradisi atau ritual yang termasuk ke dalam agenda Grebeg Suro. Ritual ini dilaksanakan di Telaga Ngebel, Dukuh Nglingi, Desa Ngebel, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Alasan Telaga Ngebel dijadikan pilihan dalam menjalankan ritual ini adalah karena masyarakat setempat percaya bahwa Telaga Ngebel memiliki kekuatan ghaib yang kuat dan dianggap sebagai poros kehidupan bagi seluruh makhluk, baik yang berada di dalam telaga, manusia, sampai mereka yang tidak terlihat agar tetap bisa hidup berdampingan (Mitanto and Nurcahyo, 2012). Dalam pelaksanaannya, ritual Larung Sesaji telah berakulturasi dengan kebudayaan islam. Hal ini terjadi karena banyaknya masyarakat Ngebel yang memeluk agama Islam yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap model pelaksanaan ritual Larung Sesaji tersebut. Kegiatan seperti tasyakuran, istighosah, tahlil, dan khataman Al-Qur'an dilaksanakan menjelang acara inti yaitu pada malam 1 suro. Selain itu, masyarakat setempat juga mengganti sesaji yang akan dilarung berupa bahan makanan menjadi duplikatnya karena dalam ajaran melarung bahan makanan dinilai sebagai hal yang mubadzir. Tidak hanya bahan makanannya saja yang diganti, namun penyebutan ritualnya juga diganti dari Larung Sesaji menjadi Larung Risalah yang dilaksanakan pada pagi hari tanggal 1 Muharram atau dalam penanggalan Jawa 1 Suro (Mitanto and Nurcahyo, 2012).
Dalam pelaksanaannya, prosesi rutual Larung Sesaji dilaksanakan pada pagi hari sebelum tanggal 1 Suro dan menacapai puncaknya pada tanggal 1 Suro tengah malam. Adapun urutan prosesi pada ritual Larung Sesaji adalah sebagai berikut:
1. Prosesi memandikan Kambing Kendhit
2. Prosesi penyembelihan Kambing Kendhit
3. Prosesi Melarung darah Kambing Kendhit
4. Acara tasyakuran
5. Istighosah
6. Tirakatan