Lihat ke Halaman Asli

Jokowi-Ahok, Tolong Benahi juga Kapal Penumpang di Pelabuhan Muara Angke

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1378625101961664225

[caption id="attachment_286595" align="aligncenter" width="599" caption="Foto : dok. pribadi"][/caption]

Sebagai warga Jakarta, berlibur di alam terbuka bernuansa laut sudah menjadi kebutuhan. Daripada hanya keluar- masuk mall, sesekali kepingin juga berlibur ke pantai Pulau Seribu di akhir pekan untuk sekadar mengusir kejenuhan setelah penat bekerja selama seminggu. Sepakatlah saya dan rekan-rekan se-unit kerja dengan keuangan pas pasan ingin menyeberang ke Pulau Seribu. Hasil browsing di internet, kami berhasil mengumpulkan sejumlah referensi tentang tempat wisata di Pulau Seribu, jalur menuju kesana dan lebih-lebih berapa kocek yang harus kami siapkan.

Maka pada Sabtu dini hari, 7 September 2013 kami sudah tiba di Pelabuhan Muara Angke. Namun rupanya kami harus menuai kekecewaan setelah berderet dalam antrean panjang tanpa hasil. Hati yang sudah menggebu ingin berakhir pekan pertama kali bersama rekan-rekan kerja di Pulau Tidung, terpaksa urung lantaran kapal Pemda yang diparkir di bibir Pelabuhan penumpang tergolong megah di Muara Angke, Jakarta Utarahari itu hanya berangkat satu buah. Penumpang yang terangkutpun hanya puluhan orang, padahal dalam antrean ada ratusan orang.

Penjelasan dari petugas pelabuhan yang terkesan tak ramah itu justru menambah perasaan kecewa kami. Karena kami disuruh naik kapal nelayan dari pelabuhan ikan di sebelahnya.

[caption id="attachment_286596" align="aligncenter" width="634" caption="dok. rpibadi"]

13786252201332258992

[/caption]

“Kami bukan barang, pak. Kapal nelayan ya untuk mengangkut ikan hasil tangkapan. Kami tahu disini ada kapal yang layak bagi manusia, bukan kapal barang,” ucap teman-temanku sambil mengemasi barang bawaan menuju rumah masing-masing.

Penasaran ingin melihat kapal nelayan yang direkomendasi petugas pelabuhan, kamipun coba menuju pelabuhan ikan. Mobil nyaris tak bisa lewat menuju pelabuhan dimaksud karena jalanan dipenuhi para pedagang ikan, lalu lalang gerobak para pedagang, ojek motor dan bajaj. Padahal jalan yg kami lalui itu sebetulnya satu arah, tapi aturan itu tak berlaku disini. Nyaris mobil kami lecet tersenggol gerobak.

Tempat yang dituju (pelabuhan menuju Pulau Seribu) benar-benar tak layak untuk ukuran pelabuhan penumpang karena memang bukan pelabuhan orang tapi tempat penurunan ikan. Anehnya, di tempat ini parkiran tampak penuh sesak oleh mobil pengunjung. Setelah bertanya kepada beberapa pengunjung yang sedang sarapan di warung, ternyata mereka memang penumpang kapal yang ingin berlibur ke Pulau Seribu.

“Lho, kok disini? Bukankah ada Pelabuhan resmi untuk penumpang yang hanya berjarak 500 meter dari tempat itu?,” protes ku dalam hati.

Rupanya mereka memang sudah biasa ke Pulau Seribu melalui pelabuhan ini. Dan rela berdesakan di kapal nelayan tanpa bangku dan tanpa pelampung untuk para penumpang, agar bisa berlibur di Pulau Seribu. Mungkin mereka pada jago berenang, maka tak ada pelampung tak masalah.

Kamipun balik lagi ke Pelabuhan penumpang yang sebenarnya dengan harapan akan ada kapal lagi yang berangkat ke Pulau Seribu. Kami harus kecewa lagi untuk kedua kalinya, karena jawaban petugas pelabuhan masih sama dengan jawaban sebelumnya.

[caption id="attachment_286597" align="aligncenter" width="630" caption="akses menuju Pelabuhan Penumpang Muara Angke, belum ditata agar menarik pengunjung tempat wisata di Pulau Seribu. (Dok. pribadi)"]

1378625487999364167

[/caption]

Semoga kondisi ini bisa segera dibenahi oleh Gubernur baru kita, Jokowi-Ahok.Setelah pasar Tanah Abang menjadi tempat yang layak dikunjungi, dan waduk Pluit telah berubah dari tempat kumuh menjadi pemandangan nan asri, semoga giliran berikutnya adalah Pelabuhan Penumpang di Penyeberangan Muara Angke. Jika bapak berdua berkunjung kesana, pasti akan menemukan sejumlah persoalan yang tergolong darurat menunggu sentuhan tangan dingin bapak-bapak.

Di antaranya adalah masalah akses yang miskin petunjuk arah, jalanan berlubang dan tergenang rob, para pedagang yang penuh sesak berjualan di terminal, dan lebih-lebih kapal-kapal Pemda yang belum dikelola secara profesional. Masih kalah jauh dari kereta api yang kini sudah mulai menjadi angkutan yang menyenangkan dan manusiawi. Jangan lupa agar para pegawai Dinas Perhubungan yang bertugas di sana ditatar supaya lebih ramah melayani para calon penumpang, pengguna jasa wisata Pulau Seribu. Kita semua tentu berharap bahwa suatu saat Pesisir Pantai di utara Jakarta itu bisa berfungsi sebagai “teras rumah” kota Jakarta.Semoga ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline