Lihat ke Halaman Asli

Terbukti Korupsi Berjamaah, Semua Anggota DPR Papua Barat Jadi Terhukum

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1392274237559492192

[caption id="attachment_322365" align="aligncenter" width="450" caption="Ketua DPR Papua Barat Yosep Yohan Auri di Pengadilan Tipikor Jayapura sebelum pembacaan putusan. (Antara)"][/caption]

Pengadilan Tipikor Jayapura, Papua pada Senin 10 Pebruari 2014 menjatuhkan vonis kepada Ketua DPR Papua Barat Yosep Yohan Auri, Wakil Ketua I DPR Robert Nauw, Wakil Ketua II Jimmy Idjie serta 41 anggota DPR Papua Barat. Mereka divonis penjara satu tahun hingga satu tiga bulan, berikut denda dengan besaran bervariasi.

Jaksa mendakwa 44 wakil rakyat yang duduk DPR Provinsi Papua Barat itu telah menerima dana Rp22 miliar dari BUMD PT Papua Doberai Mandiri (Padoma) untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti mengontrak rumah, membeli kendaraan dan biaya mengunjungi konstituen. Sebelumnya jumlah terdakwa 46 orang, tetapi dua orang telah meninggal dunia.

Ketua DPRD Papua Barat Yosef Yohan Auri dihukum 15 bulan dan denda Rp 50 Juta. Hukuman yang sama juga dikenakan kepada kedua wakilnya dan mantan Sekda Papua Barat, Ir. Marthen l Rumadas yang terlibat dalam pencairan uang tersebut.

Meskipun uang sebesar Rp 22 Milyar itu telah dikembalikan seluruhnya, namun mereka tetap dinyatakan bersalah sesuai dengan UU Tipikor dalam hal penyalahgunaan wewenang selaku pejabat negara untuk memperkaya diri pribadi maupun golongan.

“Karena terbukti secara bersama-sama dengan empat puluh tiga anggota DPR Papua Barat lainnya korupsi dana dua puluh dua miliar rupiah yang merupakan modal PT.Padoma, perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi Papua Barat,” kata Chairul Fuad, Ketua Majelis Hakim kepada wartawan seusai sidang.

Kronologi

PT. Padoma merupakan perusahaan daerah milik Pemprov Papua Barat. Pada akhir 2010 atau menjelang tahun baru 2011, Ketua DPR Papua Barat mengajukan dana pinjaman sebesar Rp 22 Milyar kepada manajemen PT. Madona untuk memenuhi kebutuhan pribadi para Anggota DPR.

Manajemen PT Padoma meluluskan permintaan itu karena sebelumnya sudah ada pembicaraan antara Ketua DPRD, Sekda dan Direktur PT Padoma Achmad Suhadi. Pencairan pinjaman dilakukan dalam dua tahap. Pertama sebesar Rp15 miliar dan tahap kedua Rp7 milyar. Dari jumlah Rp 22 Milyar itu Ketua dewan, Auri mendapat alokasi paling banyak, yakni Rp1,7 miliar. Dua wakilnya mendapat Rp600 juta, 10 anggota DPRD mendapat Rp500 juta per orang, dan 31 anggota DPRD lainnya menerima Rp450 juta per orang.

Menurut penilaian hakim, tindakan para wakil rakyat itu dinilai bermotif memperkaya diri tanpa mengingat masyarakat. Padahal dana yang mereka terima itu sejatinya digunakan PT Padoma untuk berinvestasi demi kesejahteraan rakyat Papua Barat. Karena modal kerja perusahaan daerah itu telah digunakan untuk kepentingan pribadi anggota dewan, maka praktis perusahaan itu tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik.

Kasus Serupa

Kasus korupsi dengan terdakwa serombongan anggota DPRD juga pernah terjadi pada Mei 2004 di Sumatera Barat. Ketika itu PN Padang memvonis 43 anggota DPRD Sumatra Barat dengan hukuman antara dua tahun hingga 27 bulan penjara dalam kasus korupsi dana APBD 2002 senilai Rp5,9 miliar.

Kasus-kasus seperti ini patut menjadi keprihatinan bersama. Ternyata korupsi tak hanya menjadi langgananpemegang kekuasaan di pusat, tetapi daerah juga telah menjadi lumbung korupsi baru. Desentralisasi rupanya bukan hanya distribusi kekuasaan, melainkan juga distribusi korupsi dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan di daerah.

Hasil korupsi yang dilakukan anggota legislatif atau pejabat publik yang berasal dari partai politik bila ditelusuri pasti berujung pada pembiayaan politik. Contohnya para anggota DPR Papua Barat menggunakan dana tersebut antara lain untuk biaya mengunjungi konstituen. Mereka memang harus “memelihara” konstituennya karena hampir semua terpidana itu kembali mencalonkan diri sebagai anggota dewanpada Pemilu 2014.

Kasus korupsi massal di DPR Papua Barat ini setidaknya membuktikan bahwa demokrasi kita memang berbiaya mahal. Siapapun bisa mencalonkan diri sebagai wakil rakyat asalkan punya banyak uang. Padahal demokrasi yang baik dan mapan tidak harus berbiaya mahal. Ia bahkan akan memberi insentif, fasilitas, dan peluang besar bagi calon anggota dewan atau pejabat publik yang punya kapabilitas dan integritas meski mereka tak punya duit. [***]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline