[caption id="attachment_213557" align="aligncenter" width="515" caption="ilustrasi, sumber : Tempo.co"][/caption]
Akhir Oktober nanti, Presiden SBY akan ke Inggris untuk memenuhi undangan langsung dari Ratu Inggris, Elizabeth II, untuk menghadiri upacara puncak peringatan 60 tahun Ratu Elizabeth II bertahta. Momentum itu telah dimanfaatkan secara lihai oleh sebuah Gerakan separatis Papua yang bermarkas di Oxford, London, bernama Free West Papua Campaign untuk menarik perhatian dunia agar tertuju ke Papua.
Melalui situs resmi dan akun Facebook-nya Free West Papua Campaign mempublikasikan wanted list terhadap Presiden SBY dan menawarkan imbalan sebesar Rp 770 juta kepada warga yang berani menangkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Inggris pada 31 Oktober hingga 2 November 2012 itu.
Organisasi yang dipimpin oleh Benny Wenda itu menuduh Presiden SBY telah mendalangi pembunuhan (genosida) yang menyebabkan lebih dari 500 ribu orang Papua tewas. Organisasi itu mengatakan siapapun boleh mengklaim hadiah itu, jika “penangkapan” itu diberitakan oleh media massa besar. Si penangkap juga harus disebutkan dalam berita “penangkapan” itu. Imbalan bisa diambil dalam jangka waktu 28 hari setelahnya.
Menanggapi hal itu, Menko Polhukam, Djoko Suyanto, mengatakan dirinya telah menerima suratdari Kedutaan Inggris yang menjelaskan bahwa sayembara itu tidak benar. Dalam suratnya, Pemerintah Inggris menegaskan tidak benar ada sayembara menangkap SBY di Inggris. "Pemerintah Inggris bertanggung jawab sepenuhnya atas undangan yang diberikan kepada Presiden," ujar Djoko.
Peristiwa Belanda 2010
Sayembara ini nyaris serupa denga peristiwa di Belanda tepat dua tahun silam. Presiden SBY mendadak membatalkan rencana kunjungannya ke Negeri Belanda atas undangan Ratu Belanda dan Perdana Menteri Belanda, hanya beberapa saat menjelang berangkatnya. Alasannya,karena ada informasi bahwa dirinya akan ditangkap saat melakukan kunjungan tersebut terkait kasus pelanggaran HAM yang diajukan oleh aktivis Republik Maluku Selatan, RMS yang tinggal di Belanda.
Siapakah Benny Wenda?
Benny Wenda (37 tahun) adalah mantan Napi kasus berdarah Abepura, Papua. “Benny dan sejumlah rekannya terlibat dalam penyerangan kantor polisi di Abepura pada 7 Desember 2000 dan mengakibatkan tewasnya sejumlah orang serta rusaknya sejumlah harta benda yang ada di sana,” kata Billy Wibisono dari Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris, seperti dimuat BBC tahun 2011 lalu.
Pada 8 Juni 2002, Benny melarikan diri dari penjara Abepura dibantu aktivis separatis Papua dan LSM dari Inggris melalui jalur batas Papua Nugini (PNG). Ia kemudian pergi ke Inggris sebagai pencari suaka hingga sekarang. Konon, Benny masuk ke Inggris menggunakan paspor PNG. Tahun 2003 Benny mendapatkan suaka politik dari Pemerintah Inggris.
Benny sempat masuk dalam daftar buronan Interpol, namun belum lama iniInterpol telah menghapus nama Benny dari red notice Interpol yang bermarkas di Inggris itu. Alasannya, sebagaimana disampaikan juru bicara Interpol bahwa red notice terhadap Wenda tidak sesuai dengan aturan dan regulasi Interpol.
Tidak ada penjelasan rinci tentang hal itu, namun menurut Jago Russel, dari kelompok Fair Trials International, Interpol setuju bahwa kasus Indonesia melawan Benny Wenda, ’sebagian besar bersifat politis’.
http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/342587-dpo-papua-dihapus-dari-daftar-buron-interpol
Gentarkah SBY ?
Sebagai bangsa, kita berharap agar Bapak Presiden tidak perlu gentar menghadapi sayembara Free West Papua Campaign itu, sehingga tak lagi terulang peristiwa penundaan ke Belanda bulan Oktober 2010 lalu. Mengapa?
Pertama, wanted list hanya dapat dikeluarkan oleh otoritas negara yang berwenang. Sementara organisasi yang dipimpin oleh napi Indonesia, Benny Wenda itu bukanlah otoritas resmi milik pemerintah Inggris yang berhak mengeluarkan perintah penangkapan terhadap seseorang, apalagi terhadap seorang Presiden.
Kedua, Pemerintah Inggris telah menjamin Presiden SBY atas keselamatan dan keamanannya. Tentu juga menjadin tidak aka nada proses hukum terhadap Presiden SBY. Jika ini tidak terwujud maka yang malu adalah Pemerintah Inggris dan merupakan suatu tamparan diplomatik.
Ketiga, kampanye hitam Benny Wenda dan kelompoknya di Inggris itu (juga termasuk para aktivis RMS di Belanda) merupakan akrobat hukum, karena tuduhan dan argument hukumnya sama sekali tidak berdasar.
Bapak Presiden pasti sangat paham bahwa kunjungannya ke Inggris itu adalah dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara yang sekaligus juga menjadi symbol kedaulatan dan kebesaran nama Bangsa Indonesia. Dan bahwa Republik Indonesia yang diejawantahkan dalam diri Presiden SBY tidak seharusnya dibuat gentar oleh siasat hukum yang sedang dilancarkan oleh para pemberontak yang bersembunyi di negeri asing itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H