Lihat ke Halaman Asli

Jangan Renggut Kedamaian dari Tanah Kami

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326214908812819426

[caption id="attachment_162920" align="aligncenter" width="454" caption="ilustrasi : Google.com"][/caption] DI penghujung tahun 2011 hingga dua pekan pertama di tahun 2012, negeri ini diwarnai banyak insiden yang membuat kita sebagai bangsa pantas mengurut dada. Mulai dari serangkaian kasus penembakan misterius di wilayah Aceh, kekerasan di Mesuji (Lampung) dan Bima (NTB), bentrok antarwarga di Palu dan Ambon, hingga aksi-aksi penembakan yang hingga kini masih terus terjadi di Tanah Papua. Entah sudah berapa nyawa anak bangsa ini melayang sia-sia.

Lepas dari apa penyebabnya dan apa motif di balik aksi-aksi itu, satu pertanyaan retorik  pantas di ajukan : masihkah bangsa ini pantas menyebut diri bangsa beradab yang penuh tatakrama? Ataukah kita telah berubah wajah menjadi bangsa bar-bar yang akrab dengan kekerasan dan kebathilan?

Jika kita tidak cepat berbenah, niscaya Persatuan dan Kesatuan yang dulu digadang-gadang oleh para founding fathers tampaknya akan tinggal kenangan. Kita lebih suka mempertahankan ego kesukuan dan kedaerahan masing-masing dan melihat orang dari daerah lain sebagai "musuh" yang mengancam eksistensi kedaerahan kita. Bangsa yang bernama Indonesia ini telah terpecah-belah dalam kelompok-kelompok kecil yang saling berseteru, entah apa yang diperebutkan.

Wilayah Aceh hanya untuk orang Aceh. Wilayah Papua hanya untuk Orang Papua. Warga pendatang harus tahu diri. Mereka seakan terintimidasi oleh kebijakan resmi maupun setengah resmi terkait Pemilukada. Hanya putera daerah yang pantas didukung untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Warga pendatang (maaf) silahkan minggir.

Program transmigrasipun telah dicurigai sebagai upaya sistematis genosida terhadap penduduk lokal. Para investor yang membuka usaha di daerah semakin banyak dililit persoalan dengan pemilik hak ulayat, dengan para pencinta lingkungan, dan tak jarang dengan aksi kelompok sipil bersenjata.

Perbedaan agama pun cenderung berkembang menjadi titik rawan untuk saling berseteru. Mengutup pernyataan Nur Kholis Setiawan (Direktur Pusat Dialog Universitas Islam Negeri Sunan Kalidjaga Yogyakarta), cara beragama sebagian masyarakat Indonesia belum berangkat dari bingkai kebangsaan sehingga masih sering terjadi diskriminasi. Agama jadikan sebagai bensinyang mempercepat konflik. “Di daerah mayoritas Muslim, misalnya, Muslim lebih berkuasa. Begitu juga di daerah yang mayoritas Kristen, Kristen juga berbuat yang sama. Yang lain tidak mendapat tempat”, tegas Nur Kholis. Kondisi ini, menurutnya, merupakan realitas kehidupan beragama di Indonesia dimana cara beragama sebagian masyarakat dalam bingkai kebangsaan masih sangat minim. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/09/lxja8n-konflik-bernuansa-sara-karena-agama-dijadikan-bensin

Sementara di luar sana, ada sejumlah pihak yang mengharapkan kehancuran bangsa kita. Mereka terus berupaya dengan berbagai cara, seperti menanamkan kebencian kepada Pemerintah yang sah, memusuhi aparat keamanan yang sedang bertugas, “menghidupi” kelompok pemberontak, agar kita terus bertikai.

Wahai para bangsa, hormatilah bangsa kami seperti bangsa kami menghormati bangsamu. Jangan memecah-belah kami untuk kepentingan bangsamu. Karena sesungguhnya Sang Empunya jagat raya ini sudah menempatkan semua bangsa pada tempat yang telah ditentukan-Nya.

SALAM DAMAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline