Lihat ke Halaman Asli

Di Papua Masih ada Ibu Melahirkan di Pinggir Sungai

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13258331261732771550

Sebuah buku yang ditulis Drs. Jusach Eddy Hosio,M.Si,M.Th (Kepala Diklat Prov. Papua Barat) berjudul “Papua Barat Dalam Realitas Politik NKRI”(terbitan Maret 2009) mengungkap sebuah data menggembirakan tentang pencapaian pembangunan bidang kesehatan di wilayah Papua. Disebutkan bahwa pada 2008 beberapa program baru sedang dikerjakan oleh Pemda-pemda setempat dan memberikan dampak positif, seperti pelayanan ibu hamil mencapai 85 %, penurunan angka kematian bayi 25 %, serta menurunnya angka kematian akibat DBD, TBC, diare dan ISPA. Ketika Menteri Kesehatan masih dijabat oleh Siti Fadilah Supari, kita pernah mendengar adanya program "Selamatkan Papua" (Save Papua) yang dijalankan oleh Departmen Kesehatan. "Seluruh rakyat Papua dan Papua Barat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemeriksaan dokter, berobat, dan perawatan inap dan rawat jalan di kelas 3. Pemerintah pusat yang membayar seluruh biaya tersebut. Apabila ada yang menarik biaya, rakyat berhak melaporkannya ke polisi," tegas ibu Menkes kala itu. Untuk itu pelayanan Jamkesmas di Papua dan Papua Barat, tidak lagi membutuhkan pembuatan kartu Jamkesmas. Karena seluruh biaya kesehatan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat dari pukesmas sampai rumah sakit dibayar oleh pemerintah pusat. Demikian pernyataan Siti Fadilah. Mari kita komparasikan tekad dan angka-angka pencapaian di atas dengan pengalaman Dr. Antie Soleman yang sudah 25 tahun membantu orang Papua di daerah pedalaman, sebagaimana dipublikasikan The Jakarta Post hari ini. Dokter wanita berusia 60 tahun ini hingga masih menemukanperempuan Papua menggunakan metode "tradisional" melahirkan tanpa bantuan. Di wilayah Arfak misalnya, seorang ibu yang siap melahirkan akan pergi ke pondok dan berjuang sendiri untuk melahirkan. Dua minggu kemudian, dia akan muncul dengan bayinya atau tanpa bayi. Jika ia datang sendirian, itu berarti anaknya sudah meninggal dan sudah dikuburkan. [caption id="attachment_161699" align="alignright" width="265" caption="dr. Antie Soleman, 25 tahun di pedalaman Papua"]

132583358623659926

[/caption] Atau ketika lahir anak kembar, ibu itu harus menentukan untuk membunuh salah satudan hanya membawa pulang salah satu dari mereka, karena ada keyakinan bahwa anak kembar adalah dua saudara yang akan tumbuh saling bermusuhan. Untung saja Dr. Anti jarang menemukan kasus lahir kembar di Papua. Di Mamberamo, seorang ibu yang akan melahirkan akan pergi ke sungai, berdiri di atas batuan padat dan memegang sebuah pohon di tepi sungai.Ketika darah mulai menetes buaya menunggu di bawahnya. Saat bayi muncul, sang ibu harus cepat merebut dan berbaring di pinggir sungai untuk memotong tali pusar. "Ibu dan kematian anak sangat tinggi di Papua," ujar dr. Antie. http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/06/antie-soleman-fighting-papua0.html Pengalaman dr. Antie di atas setidaknya menggambarkan bahwa orang-orang pedalaman Papua belum banyak mendapatkan pelayanan kesehatan secara memadai. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemda-pemda di sana, dan tentu saja di bawah bimbingan Pemerintah Pusat. Dokter dan tenaga medis di Jakarta mungkin saja berjubel dan bersaing memasang tarif praktik, sementara di pedalaman Papua, masih banyak ibu hamil yang harus berjuang sendirian untuk melahirkan seorang bayi dengan cara konvensional. Mungkin aspek pelayanan kesehatan ini pulalah yang bisa menjadi salah satu materi dalam ‘dialog Jakarta-Papua’ yang tengah diwacanakan saat ini. Dari pada dialog itu terlalu bernuansa politis, lebih baik diarahkan untuk membenahi pelayanan-pelayanan dasar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, terutama bagaimana membenahi akses-akses ke fasilitas kesehatan di pusat-pusat populasi masyarakat asli Papua, yang selama ini masih terabaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline