Lihat ke Halaman Asli

Para Srikandi Revolusi Mental

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14147046301769120499

[caption id="attachment_370774" align="aligncenter" width="512" caption="Foto: soulofjakarta.com"][/caption]

Betapa bangga diri saya ketika nama Professor Yohana Yembise diangkat menjadi menteri dalam Kabinet Jokowi. Mengapa? Karena jauh sebelum itu, sudah dua kali saya menulis tentang beliau di blog Kompasiana ini. Pertama, tanggal 21 November 2012 dengan judul “Wanita Papua Pertama Bergelar Profesor”. Tulisan itu saya posting tepat satu minggu setelah “mama” Yohana dikukuhkan menjadi Guru Besar perempuan pertama dari Tanah Papua. Kendati tidak menyandang predikat HL, namun postingan itu mampu menarik perhatian lebih dari seribu viewe. http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/21/wanita-papua-pertama-bergelar-profesor-504891.htm



Tulisan kedua saya posting medio September 2014 lalu terkait “Tuto Thansen and Fainting Alumni Awards 2014″ yang diterima Prof Yohana dari New Castle University Australia. Kedua postingan itu sama sekali jauh dari maksud untuk mempromosikan Ibu Yohana ke Istana. Tetapi semata-mata ingin men-share sesuatu yang saya anggap positif agar bisa menginspirasi orang lain, khususnya Kompasianer.

Kalau ternyata kemudian menjadi masukan positif bagi para pengambil kebijakan di negeri ini, alhamdullilah... Saya sangat yakin, Tim Transisi Jokowi-JK ketika mencari figur yang tepat untuk mewujudkan program-programnya, juga mencari masukan dari sumber-sumber informasi non mainstream.Salah satunya adalah blog kecintaan kita Kompasiana ini.

Kita tentu ingat istilah ‘Revolusi Mental’ yang menjadi salah satu icon Jokowi. Boleh dibilang sangat minim tokoh dari Papua yang dinilai pas untuk dilibatkan dalam program unggulan Jokowi itu selain Prof. Yohana Yembise. Namun di sisi lain, publikasi tentang sosok yang satu ini tergolong sangat minim. Bahkan orang Papua sendiripun, belum banyak yang mengenalnya. Maka wajar jika setelah terpilih ke Istana, muncul sejumlah komentar negatif dari para tokoh Papua tentang “Mama” Yohana ini.

Sangat boleh jadi, setelah Prof Yohana masuk Kabinet, media-media mainstream juga “mengutip” informasi dari blog ini. Buktinya, judul postingan pertama saya dua tahun lalu “Wanita Papua Pertama Bergelar Professor” banyak menghiasi judul berita media mainstream yang mengulas tentang sosok Prof. Yohana, lengkap dengan rekam jejaknya sejak semasa kuliah. http://sosok.kompasiana.com/2014/09/16/new-castle-university-beri-penghargaan-untuk-profesor-wanita-pertama-papua-688302.html

Saya berterima kasih kepada New Castle University yang boleh dibilang telah menjadi pihak yang pertama kali membaca potensi dalam diri Prof. Yohana. Hal itu tampak jelas dari pernyataan Dubes Australia untuk Indonesia terkait pemberian pengharaan tersebut. khwal penghargaan dari New Castle University itu, Duta besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, bahwa Prof. Yohana adalah alumni yang memiliki kontribusi besar bagi pembangunan sumber daya manusia di Tanah Papua maupun Indonesia.

Menabrak tradisi patrilineal

Komentar miring tentang Prof. Yohana sama halnya dengan komentar sementara kalangan tentang penunjukkan Puan Maharani menjadi Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Dari empat kementerian di bawah koordinasi Puan Maharani, tiga di antaranya dipimpin kaum perempuan, yakni Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri BUMN Rini M Soemarno dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise.

Maka sangatlah tepat dan bijak Presiden Jokowi melibatkan Prof. Yohana untuk bersama-sama dengan Puan Maharani membumikan program Revolusi Mental itu. Bahkan penunjukkan Puan dan “Mama” Yohana adalah bagian pembaharuan mental itu sendiri. Puan, karena mungkin belum pernah dalam kabinet-kabinet terdahulu seorang perempuan menduduki posisi Menko. Dan penunjukkan Prof. Yohana tergolong terobosan baru yang sedikit “menabrak” tradisi orang Papua yang patrilineal itu.

Dalam salah satu tulisan seorang tokoh perempuan Papua Barat, Anike Th. Sabami (saat ini menjabat Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua Barat /MRPB),tentang peran dan posisi perempuan Papua, disebutkan bahwa dalam kebudayaan Papua, kaum perempuan tidak bisa dipisahkan dari tatanan dan nilai- nilai adat dan budaya masyarakat Papua. Kendati kaum perempuan Papua memainkan perannya sebagai aktor ekonomi keluarga namun mereka belum mendapat kedudukan yang layak dalam sistem adat dan budaya, khususnya pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputasan. (Seminar Akhir tahun "Evaluasi Politik Papua 2011". Kerjasama P2P LIPI dengan Komisi I DPR RI, tanggal 13 Desember 2011).

Dengan memilih Puan dan “mama” Yohana, Jokowi telah melakukan sebuah pembaharuan dalam budaya politik Indonesia, dan lebih-lebih Papua, yakni memberikan ruang yang lebih luas dan setara bagi kaum perempuan Papua untuk secara aktif terlibat dalam penentuan arah kebijakan nasional. Apalagi kebijakan itu tergolong super berat, karena terkait visi dan misi sang Presiden, yakni Revolusi Mental.

Keputusan telah dibuat dan kepercayaan telah diberikan kepada para srikandi kita. seberat apapun harapan yang dibebankan ke pundak mereka akan terasa ringan jika seluruh rakyat turut mendukung, terutama dukungan dari sesama kaum ku. Karena perjalan hidup sudah membuktikan (mohn maaf kepada kaum pria) ternyata kaum perempuan memang lebih tangguh memikul beban berat. Fisik mungkin lebih lemah, tetapi soal mental jangan ditanya. Kepada para Srikandi kebanggaan bangsa, selamat berkarya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline