Sungguh tragis dan memalukan! Di saat umat Muslim dari seluruh penjuru dunia berziarah ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, justru mereka disuguhi pemandangan yang mencoreng kehormatan Islam itu sendiri. Potret jemaah haji Indonesia yang terpaksa tidur berdesakan di lorong-lorong Mina akibat over kapasitas tenda merupakan tamparan telak bagi klaim Arab Saudi sebagai penjaga kiblat Muslim sedunia. Alih-alih memuliakan para tamu Allah, mereka justru mengkhianati amanah menjamu dengan penuh kemuliaan sebagaimana perintah Ilahi dalam QS Ali Imran 97. Tragedi ini juga menyuarakan pengingkaran nyata atas amanat konstitusional negara dalam melindungi dan memberi rasa aman bagi warga negara yang sedang menunaikan ibadah.
Mengupas masalah ini dari sudut pandang ketuhanan, memang benar bahwa Arab Saudi tengah diuji oleh Allah dengan kepercayaan menjadi tuan rumah ibadah haji. Namun sayangnya, mereka gagal menunaikan amanah suci ini dengan layak. Firman Allah dalam QS Ali Imran 97 dengan jelas memerintahkan agar penyelenggara haji memberikan rasa aman dan nyaman kepada setiap jemaah yang berziarah. Bahkan, ayat sebelumnya menyebutkan Baitullah adalah kiblat yang harus dijaga kesuciannya.
"...Dan siapapun yang memasukinya (Baitullah) dengan aman, maka baginya (mendapat keselamatan dan rahmat Allah)..." (QS Ali Imran 97)
Namun yang terjadi justru kebalikannya, jemaah disuguhi ketidaknyamanan laiknya ternak yang didesak dalam kandang sempit. Sungguh penghinaan bagi para tamu Allah yang seharusnya dihormati dan dilayani dengan sebaik-baiknya agar bisa beribadah dengan khusyuk. Bukankah Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sabdanya:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamu." (HR Bukhari)
Kenyataan memilukan ini seakan mengonfirmasi anggapan bahwa Arab Saudi telah kehilangan ruh spiritualitas dalam mengelola tanah suci. Yang tersisa hanyalah kulit luarnya semata tanpa penjiwaan nilai-nilai qur'ani. Penyelenggaraan mereka lebih mencerminkan nafsu serakah kapitalis yang merendahkan martabat agama menjadi komoditas bisnis belaka.
Lebih jauh, tragedi ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi warga negaranya yang sedang berziarah ke tanah suci sebagaimana amanat konstitusi. Pasal 28G ayat 1 UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."
Selain itu, Undang-Undang No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah juga mengamanatkan perlindungan maksimal bagi jemaah haji Indonesia. Pasal 28 ayat 1 menyebutkan bahwa "Pemerintah wajib melindungi dan memberikan kepastian perlindungan kepada Jemaah Haji Indonesia, baik yang berangkat melalui pemerintah maupun swasta."
Jelas fakta menunjukkan kedua landasan hukum ini diinjak-injak oleh penyelenggara. Jemaah Indonesia dipaksa hidup dalam kondisi tak layak, tidak aman, bahkan mengancam martabat kemanusiaan. Sungguh pengkhianatan terhadap ruh pembentukan landasan hukum tersebut yang mengedepankan perlindungan harkat dan martabat warga negara yang sedang beribadat.
Dalam bingkai yang lebih teknis, tragedi over kapasitas tenda di Mina juga patut dicurigai sebagai akibat dari kegagalan koordinasi penyelenggara dalam mendistribusikan penginapan kepada para jemaah. Data dari Kementerian Agama Arab Saudi menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kapasitas penginapan di Mina yang tersedia hanya sanggup menampung 2,5 juta jemaah. Sementara pada tahun 2023 lalu jumlah jemaah yang berziarah mencapai 3,3 juta orang.