Hujan segera berpamitan, meninggalkan basah dan lindapkan rindu tertinggal di daun-daun. Kasihnya menghijaukan kembali rumah-rumah burung gereja. Putik yang kemarin kuncup, mulai merekah dicumbu matahari.
Jingga di ujung pagi, begitu merona. Bulir-bulir padi menguning bak mutiara, bergelantungan manja di leher jenjang Dewi Sri. Pucuk cemara saling bersentuhan, membisikan kisah semalam yang tertunda oleh gelegar petir.
Merajut kata demi kata, demi mencipta sajak cinta untuk dirangkai pada sebuket bunga krisan berwarna putih. Aroma nan lembut, semerbak menyeruak menembus relung dada. segala resah sirna seketika.
Membayangkan seraut wajah dengan senyum tulusnya. Mencari-cari letak huruf, mungkin saja terjatuh di antara rerumputan , lantas terbang tersapu angin hingga meninggalkan kesalahpahaman. Membuat masgul di wajah kuyu yang terlihat letih bermandi peluh.
Tidak pernah melupakan sebuah kalimat yang ditulis dan menggantung indah di awan-awan. Tentang sebentuk cincin tanpa mata berlian, hanya polos serupa kapas. Dengan kata "Mau kah menua denganku?"
Walau setelahnya hilang tak berbekas, tapi pernah terbaca demikian. Seiring musim hujan berlalu, rasa terpelihara kian nyata. Menegaskan kelopaknya yang ranum menunggu sentuhan. Tidak mudah untuk bertahan di pintu kematian.
Sembari terus merapal kidung klasik dari kitab-kitab yang dicatat sufisme. Sebatang raga kian melemah, nafasnya tersengal patah. Sebelum ajal membawa. Ia masih menunggu angin membuktikan kesungguhan.
Pondok Kata, 25 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H