Lihat ke Halaman Asli

Vera Verawati

Ordinary woman

Mati Hutanku Sirna Rimbaku

Diperbarui: 5 Februari 2024   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menatap  Rimba Yang Kian Terkikis (dok. penulis)


Di mana pohonku, di mana hutan ku, yang dulu hijau bak hamparan karpet indah khatulistiwa. Aroma hutan hujan, harum aroma humus semerbak. Wangi oksigen segar menguar paru-paru yang mulai sesak oleh polusi sandiwara kepedulian.


Jejak-jejak sepatu terbenam, menggelinding tumbang kayu-kayu yang kuat umurnya karena terjaga oleh semesta, tapi ditebang semena-mena oleh mereka yang mengaku para penjaganya. Tapi dibalik rak-rak besi bertransaksi, rimbaku berubah menjadi sekotak ilustrasi.


Jerit itu memekak telinga, menjadi tuli pendengaran oleh selembar cek bernominal tak terbatas. Disuguhinya idealisme pecinta lingkungan, terpatah langkah mereka tanpa anggaran. Tapi bagi sebagian yang memiliki cinta sesungguhnya, terus merawat meski tanpa dukungan.


Slogan-slogan penghijauan berderet berkibar, terbentang menutupi luasnya pembalakan, seperti topeng-topeng yang mereka kenakan. Melenyapkan segelintir penjaga hutan, yang setiap saatnya menanam, tanpa pernah memetik dahan berharap anak cucu meneruskan.


Lihatlah kawan, ramai-ramai mereka datang, satu atau dua menanam impian. Di sudut lain, orang-orang berdasi dengan setelan bak pangeran menyempurankan peran. Membuatkan undang-undang seolah perlindungan.


Daun-daun tak benar-benar membisu, desaunya mengabarkan sebuah scenario. Pencitraan perlu digenapkan. Sekali waktu, mereka berkumpul dengan bercawan anggur, ditemani tawa renyah sang penari malam.


Seringan langkah para tetua dan pecinta, yang menebar benih di setiap jengkal kehidupan. Merawatnya dengan kasih sayang, menyapanya setiap pagi lalu mengajaknya berbincang tentang hujan tadi malam.


Mereka yang nyata menanam, menjaga lalu melupakan. Tanpa pernah bertanya, bisakah menikmati hasil buahnya, atau malah rebah menjadi tubuh-tubuh mati yang diserabut oleh mahkluk bertaring besi.


Suara rimbaku nyaris hilang sempurna, auman raja hutan terpojok di jurang kematian. Dewa-dewa penjaga bumi tak lagi berkutik, terbungkam oleh tumpukan kesenangan. Cukup, jangan renggut semua hutanku, rindu melihat damainya kehidupan putra-putri adam.

Pondok Kata, 050224

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline