Lihat ke Halaman Asli

"Salam Tempel" yang Berbanding Terbalik dengan Usia

Diperbarui: 11 Juni 2018   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (sumber: pixabay.com)

Tradisi "salam tempel" ketika lebaran selalu saya sebut "uang saku lebaran" atau "angpau". Sejak kecil saya selalu mendapatkan uang saku lebaran. Dari nominal 2.000 rupiah sampai 100.000 yang saya kumpulkan lalu saya pakai untuk membeli tas baru, sepatu baru, mainan baru, atau apalah yang waktu kecil dulu saya inginkan. Bahkan untuk membeli es krim sepuasnya pun saya pernah. Yang penting kalau masuk angin, tanggung sendiri!

Namun semakin tua usia saya, jumlah uang saku yang saya dapatkan dari saudara-saudara saya (pakdhe, budhe, om, tante, kakek, dan nenek) sudah semakin berkurang. "Nggak usah ya, kan udah gede," katanya.  Bukankah kalau udah gede kebutuhan semakin banyak ya? Batin saya. Apalagi kalau sudah kerja, nanti mereka bilang begini, "Kamu kan udah kerja, gantian yang kasih sangu ke sepupu-sepupu."

Ah baiklah. Sejak kecil angpau alias uang saku lebaran dari saudara-saudara saya ini menghilangkan niat suci untuk bersilaturahim. Dalam hati pasti berharap, "Semoga dapat uang saku." Lalu kecewa kalau tidak dapat. Maklum masih kecil, masih naif.

Seiring bertambahnya usia yang berbanding terbalik dengan pemasukan uang dari "salam tempel", secara tidak sadar justru melatih saya lebih dewasa dan belajar bertanggung jawab. Lebih tepatnya berpikir dewasa. Kalau silaturahim cuma untuk dapat uang saku, lalu semakin saya tua semakin malas bersilaturahim, dong? Bisa-bisa saya kehilangan saudara-saudara saya. Maksud saya, tali persaudaraan kami mengendur.

Semakin beranjak tua justru saya merasa ketika lebaran harus lebih banyak saudara yang saya kunjungi. Silaturahim harus semakin banyak jangkauan. Bukan apa-apa. Kadang di usia segini kalau "tidak kelihatan" di acara keluarga rasanya memalukan. Lalu, karena sepupu saya juga mulai banyak -- dan masih kecil-kecil -- saya justru merasa harus bisa mulai memberikan uang saku. Memang sih, saya belum kerja dan tidak ada yang menuntut. Tapi hati ini kok rasanya, "Aku kapan ya bisa ngasih sangu ke mereka?" 

Dari situlah rasa tanggung jawab terbentuk. Saya jadi merasa, usia segini sudah bukan saatnya lagi diberi uang saku lebaran, tapi saatnya mempererat tali persaudaraan di kala lebaran.

Selain itu, di samping soal silaturahim, tradisi "salam tempel " ini menurut yang saya alami, juga melatih anak untuk belajar memanajemen uang saku. Anak akan belajar membagi uang untuk jajan maupun untuk ditabung, untuk beli kebutuhan maupun keinginan.

Sekian.

11 Juni 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline