Atas nama pembangunan acap kali Masyarakat Adat menjadi korban. Mereka terpaksa menyingkir dari tanah dan hutan tempat mereka bernaung. Banyak dari mereka tidak berdaya melawan kekuatan negara dan korporat yang merampas hak-hak mereka. Padahal mereka sang pemilik asli bumi nusantara jauh sebelum negara ini merdeka.
Negara yang seharusnya hadir membela mereka malah berlaku sebaliknya. Seperti yang sering kita baca dan saksikan di media. Rakyat harus berhadapan dengan aparat bersenjata. Mereka yang lantang berteriak memperjuangkan hak-haknya dianggap melawan hukum bahkan dikriminalisasi.
Minggu (12/03), bertempat di gedung Peradi Medan, Direktorat Advokasi PB AMAN (Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan Pembela Masyarakat Adat Provinsi Sumantera Utara (PEMAPSU) menyelenggarakan pelatihan sehari “Pelatihan Kapasitas Advokat tentang Masyarakat Adat". Pelatihan ini diperuntukan kepada para advokat muda yang ada di Sumatera Utara untuk mampu melihat lebih dekat problematika seputar Masyarakat Adat. Agar nantinya dapat mengadvokasi Masyarakat Adat yang membutuhkan bantuan hukum.
Tim dari PB AMAN yang terdiri dari Erasmus Cahyadi, Tommy, Arman, Sinung Karto, dan Monica bergantian menjadi pembicara. Dalam pelatihan ini terungkap bahwa salah satu sumber konflik yang melibatkan masyarakat, negara dalam hal ini pemerintah, dan perusahaan bersumber pada carut-marutnya perundang-undanganan kita saat ini. Bahkan ada beberapa UU yang harus maju ke meja MK untuk ditinjau karena benar-benar tidak berpihak kepada Masyarakat Adat.
Negara menurut Undang-undang adalah pemilik dari hutan. Wilayah hutan sendiri ditentukan pemerintah akan tetapi kadang penentuan mana wilayah hutan dan mana wilayah milik Masyarakat Adat tidak didasarkan atas data yang jelas. Bahkan berapa banyak hutan di negara kita pun datanya berbeda-beda. Padahal menurut data BPS tahun 2013 terdapat 34.000 desa yang berada di wilayah hutan.
Di sisi yang lain, Hak Guna Usaha kawasan hutan yang dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan sering mengambil wilayah yang menjadi hak dari Masyarakat Adat. Inilah yang nantinya memicu konflik-konflik agraria. Dan Masyarakat Adat selalu dianggap sebagai pihak yang salah. Maka dari itu sangat penting perlu adanya advokasi bagi Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Demi kepentingan ekonomi, masyarakat sering harus terpecah antara yang pro dan yang kontra. Seperti apa yang terjadi di Luwu Utara (proyek PLTA), Sumbawa (Newmont), atau Kep. Aru. (perkebunan tebu). Rencana pembukaan perkebunan tebu yang digadang-gadang terbesar di dunia itu ditengarai akan merusak alam termasuk tujuh ratusan hektar hutan. Perkebunan tebu tersebut juga akan merusak sumber air yang keberadaannya sangat vital bagi masyarakat setempat.
Di Sumatera Utara sendiri banyak kasus yang melibatkan Masyarakat Adat seperti diungkapkan Ranto Sibarani dari Pembela Masyarakat Adat Sumatera Utara, yang ikut menjadi pembicara. Seperti kasus eks Hak Guna Lahan PTPN II seluas 5873 Ha di Deli Serdang. Belum lagi kasus di Pandumaan – Sipituhuta dimana rakyat setempat melawan PT Toba Pulp Lestari. Perusahaan tersebut dianggap merusak hutan kemenyan yang menjadi lahan dan hutan adat warisan leluhur.
Ranto Sibarani juga mengajak sama-sama mencari solusi mengenai dampak yang akan ditimbulkan oleh pembangunan, seperti proyek pengelolaan wisata Danau Toba. Baik itu wilayah di sekitar Danau Toba maupun wilayah yang terkena proyek infrastruktur seperti jalan tol.
Masyarakat tidak dalam posisi melawan usaha pembangunan yang dilakukan pemerintah. Tetapi masyarakat harus dianggap sebagai subyek. Setiap proyek-proyek harus dilakukan sebuah konsultasi bukan sosialisasi seperti yang selama ini dilakukan. Konsultasi mengedepankan aspek keterbukaan positif dan negative sebuah proyek. Sedangkan Sosialisasi tidak ada pelibatan masyarakat. Masyarakat setempat hanya mendapat informasi keuntungan-keuntungan yang bisa mereka dapatkan saja.
Hampir 72 tahun negara ini merdeka, tetapi hak-hak Masyarakat Adat yang sejatinya pemilik sejati negara ini masih terpinggirkan. Sampai-sampai mereka harus tercabut dari bumi yang sudah menghidupi mereka secara turun-termurun. Sampai-sampai mereka harus terpecah-belah, ikatan persaudaraan terkoyak. Mereka juga terpaksa harus melawan aparat yang digaji dari uang rakyat. Belum lagi kerusakan-kerusakan alam akibat eksploitasi dan eksplorasi yang tidak bertanggungjawab. Sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk mereka wariskan ke anak cucu.
Apa yang menjadi hak masyarakat ada memang belum sepenuhnya diatur secara komprehensif oleh negara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam hal ini terus memperjuangkan dan mengawal disahkannya RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat yang saat ini sudah masuk Prolegnas.