Lihat ke Halaman Asli

Venusgazer EP

TERVERIFIKASI

Just an ordinary freelancer

[LOMBAPK] Restorasi Film Tiga Dara: Oase Ditengah Keringnya Apresiasi Terhadap Film Klasik Nasional

Diperbarui: 10 September 2016   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga Dara

Tahu bahwa film restorasi Tiga Dara diputar juga di Medan, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Apalagi ternyata dari 5 bioskop yang ada hanya satu saja yang menayangkannya. Kapan lagi bisa menyaksikan film klasik Indonesia yang dulu merajai box-office selama 8 pekan dan meraih Piala Citra 1960 itu? Cukup beruntung juga karena besoknya Tiga Dara sudah tidak tayang. Padahal dari informasi yang saya dapatkan lewat internet, film Tiga Dara diputar sampai tanggal 18 Agustus 2016.

Film ini bercerita tentang kehidupan tiga perempuan bersaudara, Nunung yang diperankan Chitra Dewi, Nana (Mieke Widjaja), dan Neni (Indriati Iskak). Status Nunung sebagai anak tertua, dengan usianya yang hampir berkepala tiga dan masih saja menjomblo itu membuat sang nenek (Fifi Young) gundah. Termasuk adik-adiknya yang tidak mungkin 'melangkahi' kakaknya.

Usaha pencarian jodoh untuk Nunung sendiri menimbulkan kelucuan-kelucuan tersendiri. Seperti permintaan nenek kepada ayah Nunung, Sukandar (Hasan Sanusi) agar ia mengundang teman kantornya main ke rumah untuk diperkenalkan kepada Nunung. Eh ternyata yang datang lelaki-lelaki tua yang sudah punya istri. Cerita semakin berkembang dengan kehadiran pria ganteng bernama Toto (Rendra Karno). Toto jatuh hati pada Nunung tetapi sikapnya yang dingin membuat Toto jadi lebih dekat dengan Nana. Di sini konflik sempat terjadi antara Nunung, Nana dan Toto.

Setelah melihat film Tiga Dara dari berbagai sisi, memang sudah layak dan pantas jika film ini menjadi pilihan bagi S.A Films untuk dihadirkan kembali kepada publik meski harus menjalani proses restorasi terlebih dahulu. Dari awal hingga akhir, film Tiga Dara menjadi film yang cukup enak untuk dinikmati. Bukankah itu alasan orang untuk datang ke bioskop? Film ini tidak berat tapi tetap menggigit terutama pada konflik yang biasanya menjadi peak sebuah cerita/film. Happy-ending film ini pun terasa smooth dengan lagu penutup yang cantik.

Akting semua pemainnya terlihat natural, sesuai dengan karakter masing-masing. Tidak ada perbedaan mencolok antara pemeran utama maupun pemeran pendukung. Sepertinya Usmar Ismail mampu mengeksplor bakat akting para pemain Tiga Dara. Blocking antar pemain di dalam rumah (studio) yang tidak terlalu luas itu tetap tampak seperti aktivitas keseharian biasa.

Karakter Nana yang suka sinis itu memang pas sekali dimainkan Mieke Widjaja. Aktris kawakan ini kita ketahui bersama disepanjang karirnya memang identik dengan karakter sebagai wanita rada-rada jutek seperti itu.

Saya pertama mengenal sosok Mieke Widjaja ketika beliau berperan sebagai “Bu Broto” dalam drama seri Losmen. Losmen yang hadir di TVRI pada era 80-an itu menjadi tayangan yang paling ditunggu masyarakat.  Melihat Tiga Dara jadi tahu cantiknya Mieke Widjaja ketika masih muda.

Tokoh Nunung juga dimainkan secara luwes oleh Chitra Dewi. Dan Usmar Ismail sepertinya bukan asal memberi nama untuk karakter ini. Nama “Nunung” sendiri terdengar ngindonesia. Cocok dengan karakternya yang kalem kala bertutur dan old-fashioned ketika berpenampilan.

Usmar Ismail, sang sutradra, begitu piawai membuat penonton tidak merasa bosan melihat Tiga Dara. Dalam film ini penuh dialog-dialog lugas yang bikin kita tersenyum. Bukan model dialog-dialog serupa sinetron yang mudah ditebak itu.

Jika film Tiga Dara ini kita ibaratkan sebuah hidangan istimewa, garnish-nya adalah lagu-lagu easy-listening bergaya vintage dengan lirik-lirik yang tidak lebay. Soundtrack  film Tiga Dara kaya akan berbagai warna musik, mulai dari pop,  irama melayu, hingga yang jazzy.

Menariknya lagi, walau setting film Tiga Dara ini Jakarta dan Bandung tetapi Usmar Ismail berani mennyelipkan budaya Melayu. Terlihat pada adegan Nunung menemani Nana ke pesta. Kostum, tarian , dan lagu “Joged Gembira”  dalam scene ini pun begitu kental dengan nuansa melayu. Baik itu liriknya yang berpantun maupun irama musiknya yang dominan dengan irama akordeon dan biola.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline