Lihat ke Halaman Asli

Venusgazer EP

TERVERIFIKASI

Just an ordinary freelancer

Purawisata: Ikon Tempat Hiburan Yogyakarta Itu Akhirnya Tergusur

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1367380259771909161

Sungguh terkejut ketika membaca berita di media online bahwa Senin (29/04/2014) adalah kali terakhir Purawisata menggelar pertunjukan dangdut setelah selama 24 tahun menjadi salah satu ikon tempat hiburan di Yogyakarta. Selengkapnya silakan baca di sini Bagi masyarakat Yogyakarta baik itu warga asli maupun mereka yang menjadi pendatang sosok Purawisata tidaklah asing. Bertahun-tahun Purawisata menjadi panggung hiburan malam musik dangdut walau pada hari-hari tertentu juga dipentaskan sendratari Ramayana. Tetapi bagaimanapun juga Purawisata sudah identik dengan pentas dangdut. Harga tiket yang cukup terjangkau bagi semua kalangan dan penyanyi-penyanyi yang tidak kalah dengan artis ibukota, Purawisata menjadi salah satu alternatif hiburan di kota pelajar itu. Pada akhir tahun 90-an penulis sempat menjadi pengunjung setia Purawisata. Bukan karena penggemar fanatik musik dangdut, akan tetapi pentas dangdut Purawisata seakan mempunyai magnet tersendiri. Bersama seorang sahabat, seminggu minimal satu kali kami ke sana. Awalnya coba-coba, berpikir bertahun-tahun tinggal di Yogyakarta koq belum pernah merambah Purawisata yang bagi sebagian mahasiswa dipandang sebagai tempat hiburan 'minus'. Tujuan utama memang mencari ruang terbuka untuk menetralkan otak yang rada suntuk karena kuliah gak kelar-kelar. Kebiasaan kami setelah masuk ke dalam Purawisata adalah duduk dibangku yang agak panjang lalu mengobrol biasa sembari menunggu pertunjukan dimulai. Sesekali memperhatikan perilaku pengunjung lain. Yang jelas mayoritas pengunjungnya laki-laki, jika dilihat dari penampilan jelas dari golongan menengah kebawah. Bila diperhatikan lagi sebagian pengunjung punya tampang mahasiswa, jelasnya yaitu mahasiswa-mahasiswa yang berjalur lambat sama seperti kami. Ada yang menarik perhatian kami bahwa ada seseorang yang selalu datang dengan buku tebal ditangan, mencari tempat yang agak terang lalu sibuk membaca tanpa perduli dengan apa yang terjadi diatas panggung. Selain mereka yang memang sengaja ingin bergoyang menikmati dangdut, banyak juga orang-orang 'aneh' yang datang dengan tujuan yang tidak jelas. Semakin sering datang semakin tahu bahwa yang datang ya pengunjung itu-itu saja. Melihat pentas dangdut jelas tidak lepas dari gaya erotis penyanyinya. Itu mungkin yang membuat orang mau datang ke Purawisata. Jika dirasa penyanyi kurang erotis selalu saja ada suara-suara memprovokasi penyanyi untuk lebih bergoyang lebih menggoda. Kami sendiri selalunya tidak pernah turun untuk berjoged, menyaksikan dari tempat duduk biduanita dan penonton lain bergoyang dalam irama musik dangdut sudah cukup. Jika mujur ada beberapa biduanita yang mau sedikit memamerkan paha dan selangkangan mereka yang bakal membuat penonton yang berjoget itu segera merapat ke bibir panggung. Seolah-olah mendapat durian runtuh saja. Padahal apa juga yang mau dilihat, wong penyanyinya pasti memakai short-pants warna coklat muda (lho koq tahu..?). Tidak dipungkiri bahwa pertunjukan live musik seperti yang ada di Purawisata mampu memberi hiburan murah bagi masyarakat ditengah mulai maraknya kehadiran diskotik dan kafe-kafe di Yogyakarta khususnya bagi penggemar musik dangdut. Sedangkan bagi insan musik dangdut, Purawisata jelas menjadi panggung mereka mencari nafkah sekaligus berekspresi. [caption id="attachment_258295" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Purawisata akan tergusur lalu terkubur, pemiliknya akan merubahnya menjadi hotel berbintang yang dianggap lebih profitable. Mungkin terlalu sentimentil jika penulis katakan bahwa ada rasa kehilangan dengan matinya Purawisata. Purawisata pernah menjadi bagian dalam kehidupan malam dan tidak akan dilupakan. Bagi mereka pernah yang bersentuhan langsung dengan Purawisata jelas akan sangat kehilangan. Atau mungkinkah pemerintah kota atau pihak swasta berkenan membuat 'Purawisata' yang baru sebagai pengganti ikon yang tergusur itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline