Lihat ke Halaman Asli

Insomnia: Paranoia dan Hal Tak Kasat Mata

Diperbarui: 19 April 2024   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image Courtesy: Pexels

Pandemi COVID-19 varian Delta yang mencapai puncaknya pada bulan Juli-Agustus 2021 menyisakan banyak duka dan air mata. Saya sempat terseret ke dalam pusaran tersebut. Tegak diagnosa dengan hasil tes swab positif dengan gejala ringan sebenarnya disarankan untuk bisa isolasi mandiri. Tetapi kondisi suami yang meminta rawat inap membuat kami pergi ke RSUD dan melihat berbagai macam kejadian yang membuat mental semakin drop down. 

Peristiwa demi peristiwa terekam dalam alam bawah sadar saya. Membuat saya tidak bisa tidur berhari-hari selama di rumah sehat dan berlanjut saat isolasi mandiri. Saya menjadi murung, tidak mindful dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Pikiran saya sakit. Saya yakin hal ini juga dialami sebagian besar "alumni" covid. Ketakutan, keadaan mencekam, kematian orang-orang yang dikenal, merasakan dunia kiamat.

Saya menjadi paranoid melihat berita di tv, membaca grup wa, mendengar raungan sirine ataupun siaran megaphone RW setempat. Saya putus asa tetapi tidak tahu harus bagaimana. Hari-hari saya lalui dengan begitu panjang dan melelahkan. Apalagi saat matahari terbenam, pikiran saya seketika berubah kelam. Perjuangan melawan diri sendiri memang perang yang paling berat. Saya butuh pertolongan tapi pada siapa saya mengadu, saya tidak tahu.

Dzikir dan shalat tak cukup menjadi obat. Berbagai macam doapun tak luput saya baca dan rapal. Hati dan jiwa ini masih saja tak tenang. Ditambah dengan kepribadian introvert, saya susah mengungkapkan perasaan dengan berbicara. Pikiran negatif yang tertumpuk menjadi sampah, menggerogoti jiwa saya perlahan tapi pasti.

Tidur sebentar dan gelisah. Mimpi buruk tentang ambulance, isak tangis orang berduka, datang hampir setiap saya memejamkan mata. Rasanya ingin menangis dan berteriak tetapi saya tahan, saya harus kuat, sugesti saya berkali-kali.

Salah satu usaha instan saya adalah mencoba mengonsumsi obat tidur. Berbagai macam merk saya tenggak, baik herbal, resep dokter maupun suplemen makanan. Tetap saja nihil, tak berbuah hasil.

Suatu malam saya tertidur dan bermimpi tentang mantan saya. Terbangun tengah malam dan menganggapnya bunga tidur semata dan mencoba melupakannya. Saya mencoba kembali tidur. Anehnya, saya memimpikan orang yang sama lagi. Dua kali. Dia, yang namanya tak boleh disebut. Saya merasa janggal dan terganggu.

Dengan pergulatan batin luar biasa, tanpa ijin, saya mencoba menghubungi mantan saya yang nomornya sudah saya blok itu. Tentang dia, ibarat file yg sudah dihapus, recycle bin saya sudah empty. Delete permanent. Sebagai seorang istri, yang saya lakukan tentu saja salah. Waktu itu dalam keadaan putus asa, tak ada pertimbangan panjang. Mencoba tidur berbagai cara tak berhasil, siapa tau mantan saya punya amalan tertentu. Dia memang terobsesi dengan ilmu kebatinan sejak dulu.

Seperti bisa diduga, sarannya hanya abang-abang lambe alias klise. Saya blok lagi dan hapus percakapannya, betapa bodoh dan konyolnya perbuatan saya. Saya jadi manusia brengsek yang menyakiti hati suami saya. Saya berdalih, toh tidak ada niat selingkuh. Tetap saja hal tersebut memicu konflik dalam rumah tangga kami. Saya berdosa besar.

Saya mengadukan masalah insomnia ini kepada bapak mertua, yang kebetulan juga punya ilmu kebatinan. Sebagai saran awal, beliau menyuruh untuk nyekar ke makam almarhumah ibu mertua. Siapa tau kesandingan karena memang sejak pandemi kami jarang nyekar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline