Lihat ke Halaman Asli

SBY yang Pembohong dan Yogya yang Istimewa

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Kamis tanggal 2 Desember lalu pak SBY mengadakan konfrensi pers menanggapi isu-isu yang beredar di masyarakat mengenai keistimewaan Yogyakarta. Dalam konfrensi pers tersebut SBY menekankan bahwa dia menghormati keistimewaan DIY beserta dengan kekuasaan Sultan atas wilayah Yogyakarta. Beliau mengatakan bahwa dia tidak ada maksud mengutak-atik kekuasaan Sultan sekaligus status Istimewa Yogyakarta. Ucapannya yang lalu mengenai demokrasi yang tidak sejalan dengan Monarki Yogyakarta dirasanya hanya sebagai bentuk miskomunikasi.

Namun kondisi yang terjadi kini samasekali tidak menggambarkan pernyataan SBY itu. Justru para menteri, terutama menteri dalam negeri Fauzi Gamawan, mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang justru mempertentangkan keistimewaan DIY. Mengingat bahwa menteri tersebut berada dibawah langsung komando sang presiden, maka dapat diasumsikan bahwa suara dan kebijakan menteri adalah kebijakan sang presiden sendiri.

Bagi saya pribadi, hal ini sudah masuk ke dalam ranah pembohongan publik. Bagaimana tidak, pada saat konfrensi SBY jelas-jelas (bagi orang cilik macam saya) menyatakan bahwa dia sangat menghormati Sultan dan wilayah Istimewa Jogja. Dia juga tidak mengharapkan terjadinya ketegangan antara pemerintah pusat dengan warga Yogyakarta yang berpotensi membawa keamanan dan stabilitas politik negeri ini dalam bahaya. Namun kini, para pembantu presiden justru “ngeyel” untuk mengutak-atik RUUK keistimewaan Yogyakarta. Bahkan ada menteri yang bilang bahwa 71% warga Yogya menginginkan diadakan pemilihan langsung, tapi begitu ditanya sumber dia tidak bisa menjawab.

Daripada menyalahkan sang menteri, saya lebih suka untuk menujukkan semua kesalahan dan “kengototan” untuk menggodok kembali RUUK Yogyakarta di tangan presiden SBY. Kenapa? Jawabannya sederhana, karena dia adalah atasan dari para menteri tersebut. Lagipula, SBY tampak begitu pasif melihat polemik yang bahkan cukup meresahkan saya walaupun saya bukan orang asli Yogyakarta. Dia (SBY) seakan-akan membiarkan anak buahnya bercuap-cuap di media dengan bebasnya tanpa memikirkan perasaan rakyat.

Saya heran dengan perilaku SBY mengenai polemik keistimewaan Yogya ini. Kenapa isu ini harus diangkat saat Yogya sedang dalam kondisi berduka akibat erupsi G. Merapi dan banjir Lahar? Kenapa pemerintah di Jakarta tidak menunda dulu untuk sementara setelah kondisi di Yogya benar-benar kondusif? Kondisi pembahasan RUUK yang sangat mempunyai kesan dipaksakan ini telah membuat saya ber-negatif thinking mengenai rezim SBY.

Pertama, SBY ingin partainya, yakni partai demokrat mendapatkan posisi penting di provinsi Yogya. Mengingat Yogya adalah wilayah yang sangat berpotensi dalam mendulang suara karena jumlah penduduknya yang cukup banyak bila dibanding wilayah lain di luar Jawa. Selama ini partai Demokrat tidak dapat memanfaatkan potensi Yogya karena memang tidak ada pilkada di daerah tersebut, yang ada hanya pemilu untuk DPRD saja, yang mana ini kurang berpengaruh untuk meningkatkan prestise partai Demokrat.

Kedua, SBY khawatir kalau Sri Sultan Hamengkubowono X akan menjadi kekuatan politik baru dan menjadi saingan demokrat. Selama ini Sri Sultan dikenal public sebagai personal yang dekat dengan partai Golkar, yang notabenenya adalah salah satu saingan berat partai Demokrat. Dikhawatirkan dalam pemilu tahun 2014, Golkar mengangkat Sultan sebagai capres yang tentunya bisa diprediksikan sebagai calon paling potensial dalam pemilu tahun itu.

SBY dan menterinya beralibi bahwa pembahasan RUUK Yogya ini diperlukan jika saja suatu hari nanti selepas rezim Sri Sultan Hamengkubowono X ada sultan (raja) lalim yang memerintah Yogya, maka dikhawatirkan pemerintah pusat (Jakarta) akan kehilangan kendali terhadap rezim raja lalim ini. Namun hal ini menurut saya sangatlah tidak relevan karena di Yogyapun sudah ada DPRD yang merupakan perwakilan kekuasaan pemerintah pusat di Jakarta. Jika suatu hari ada raja yang dianggap lalim, maka DPRD pun bisa intervensi karena memang merekalah perwakilan dari rakyat Yogyakarta.

SBY, para menterinya dan orang-orang demokrat “ngotot” membahas RUUK Yogyakarta dan membandel untuk tetap mengesahkan wacana pilkada di Yogyakarta dengan alibi demokrasi, padahal terbukti hampir 90% di provinsi lain kalau proses pilkada ini membawa perpecahan antar masyarakat. Padahal demokrasi bukan tujuan hidup mendirikan negara, tujuan negara adalah menciptakan kesejahteraan rakyat tidak perduli sistem politik apapun yang digunakan. Demokrasi dijadikan kambing hitam atas kengototan pemerintah pusat untuk memberlakukan pilkada di Yogyakarta, kasihan benar demokrasi di negeri ini…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline