Pada tahun 2010 diperkirakan total seluruh jumlah manusia di muka yang mengalami kekurangan pangan dan gizi adalah 925 Juta manusia (Jacques Diouf, Dirjen FAO). Dan kebanyakan dari pada penderita kelaparan dan kekurangan gizi tersebut adalah orang-orang yang tinggal di Negara berkembang seperti Indonesia, Brazil, India dan banyak negara Afrika. Selain itu juga berdasarkan data dari FAO masih ada 22 negara yang mengalami krisis pangan, 17 diantaranya adalah negara Afrika, negara yang sedang dilanda konflik seperti Irak dan Afghanistan, dan negara seperti Haiti, Korut & Tajikistan.
Krisis pangan bukan masalah yang sepele karena itu bisa mempengaruhi kita sesama manusia baik itu secara filosofis ataupun praktis. Secara filosofis, saat anda sedang enak-enak nongkrong di McDonalds, KFC, Starbucks dan tempat-tempat makan trendy lainnya selama berjam-jam hanya membicarakan tentang gebetan baru anda, maka setiap 3 detiknya ada 1 orang yang meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi. Bahkan sekarang saat saya menulis artikel ini, yang mana membutuhkan waktu selama 1 jam, maka sudah ada 1200 orang diseluruh dunia yang meninggal. Apa yang anda rasakan sebagai manusia normal yang mempunyai perasaan?
Sedangkan secara praktis, kelaparan juga sangat merugikan baik itu dalam tingkat domestik ataupun internasional. Pada tingkat domestik kelaparan dapat mengakibatkan pengalokasian keuangan negara yang tidak efektif karena dana yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan negara ternyata digunakan hanya untuk memberi makan orang-orang yang kelaparan. Selain itu juga kelaparan juga merupakan pemicu krusial atas terjadinya konflik sosial, baik itu yang berupa konflik horizontal ataupun vertikal.
Sedangkan pada tingkat internasional terutama dalam konteks hubungan antara negara maju dan negara berkembang, isu mengenai kelaparan dan kekurangan gizi dianggap cukup merugikan karena sangat berpotensi melahirkan konflik dan peperangan antar bangsa. Selain itu juga sama seperti alasan pada tingkat domestik, kelaparan dunia dapat menghabiskan keuangan negara-negara donor yang mungkin dana tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal lain.
Kedua hal tersebut menunjukkan kepada kita semua bahwa kelaparan dan malnutrisi tidak pernah membawa keuntungan apa-apa bagi umat manusia. Kecuali jika anda percaya sebuah teori konspirasi mengenai pengurangan penduduk dunia hingga 93% dari total populasi penduduk di seluruh dunia (silahkan baca detailnya dan referensinya di http://tikituka.multiply.com/journal/item/241). Tapi tulisan saya disini tidak untuk membahas mengenai teori konspirasi tersebut melainkan berusaha menjelaskan kenapa masalah klasik ini tidak pernah terselesaikan dan bahkan jumlahnya terus meningkat tiap tahunnya dalam konteks global.
Sebelum saya membahas lebih jauh mungkin ada yang mempertanyakan kenapa saya selalu menyebut negara Amerika Serikat sebagai pihak yang memegang peranan esensial mengenai masalah kelaparan ini? Karena bagaimanapun pada abad ke 21 ini kita sangatlah mustahil membicarakan suatu isu internasional tanpa melibatkan Amerika, apalagi isu global seperti kelaparan dan malnutrisi. Hampir segala kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional dalam hal apapun selalu mempertimbangkan posisi politis AS. Tidak heran karena AS mempunyai hagemoni ekonomi dan politik yang sedemikian besar terutama di wilayah Eropa dan Asia. Selain itu AS adalah perwakilan dari gambaran umum negara-negara maju di seluruh dunia. AS adalah kiblat demokrasi negara-negara di dunia, yang mana bentuk demokrasi ini sendiri akan berkontribusi pada segala jenis dan karakteristik kebijakan negara-negara yang bersangkutan. AS juga merupakan kiblat dari gaya hidup dunia, mulai dari hal kecil seperti lifestyle, hingga ke isu yang lebih krusial seperti persamaan gender (feminism) dan hak asasi manusia.
Negara maju yang dikatakan sebagai negara donor utama dalam mengentaskan kemiskinan dunia, bisa dibilang hanya setengah hati dalam usahanya mengentaskan kelaparan dunia. Buktinya sangat mudah: Amerika Serikat dengan mudahnya mampu memproduksi 10 buah pesawat B-2 untuk peperangan seharga 66,3 triyun rupiah, yang dimana dengan jumlah sebesar itu sebenarnya telah mampu mencegah kematian 100 juta anak di seluruh dunia yang disebabkan kelaparan dan penyakit. Atau mungkin jika anda ingin data yang lebih ekstrim adalah kenyataan bahwa dana yang dibutuhkan untuk kebutuhan pangan dan sanitasi global adalah sebesar 117 trilyun rupiah, dimana jumlah sebesar itu ternyata sama dengan jumlah nominal pembelian parfum (minyak wangi) yang dilakukan oleh orang-orang Eropa dan Amerika Utara.
Pada kenyataannya, tingkat konsumsi negara maju seperti Amerika Serikat sangatlah besar tidak sebanding dengan proporsi jumlah penduduk dunia. Pernah disebutkan dalam program televisi Oprah Winfrey bahwa 30-40% kebutuhan pangan dunia di konsumsi oleh Amerika Serikat. Hal ini cukup mengejutkan karena bagaimanapun populasi penduduk AS hanya sekitar 307 juta (juli 2009) dari 6,6 milyar penduduk dunia, atau hanya sekitar 5% penduduk dunia! Angka tersebut sekaligus juga mewakili tingkat konsumsi negara-negara maju lain seperti negara-negara Eropa. Bisa dikatakan bahwa tingkat konsumsi penduduk negara maju tidak begitu berbeda jauh dengan tingkat konsumsi negeri AS. Argumen ini diperkuat dengan data resmi dari FAO pada tahun 1999-2001 mengenai tingkat konsumsi negara-negara di dunia (lihat gambar).
Gambar diatas menunjukkan bahwa tingkat konsumsi tertinggi dipegang oleh AS, Inggris, Prancis, Portugal, Spanyol, Jerman, Austria, negara Benelux, Irlandia dan italia. Bila kita akumulasikan seluruh penduduk negara tersebut maka hanya akan berjumlah 646,8 juta jiwa atau hanya sekitar 10 % dari total penduduk dunia. Itu artinya paling tidak lebih dari dari 50% konsumsi makanan diseluruh dunia di dominasi oleh negara-negara tersebut. Sedangkan sisanya yaitu 90% penduduk dunia atau sekitar 4,3 milyar orang saling berebut mendapatkan 50% sisa pangan di dunia.
Apa yang dapat anda dapatkan dari bukti sederhana di atas? Dan ingat, jangan kira mereka (Amerika utara dan Eropa) tidak tahu mengenai fakta bencana kelaparan tersebut karena merekapun juga adalah anggota PBB sekaligus anggota FAO, namun mengapa mereka berkontribusi “sangat sedikit” dibanding apa yang telah mereka keluarkan untuk keperluan lain? Mengapa seakan mereka melihat isu kelaparan dan kekurangan gizi hanya masalah sepele?
Ada beberapa alasan, diantaranya adalah yang paling mendasar adalah tidak adanya kepentingan, baik itu kepentingan politis atau ekonomi dalam isu kelaparan yang dihadapi negara tertentu. Karena bagaimanapun, hubungan antar bangsa selalu didasarkan pada kepentingan nasional (national interest) negara yang bersangkutan. Selain itu adalah faktor bisnis yang selalu berorientasikan pada pengumpulan kapital alih-alih isu kemanusiaan, yang dikontrol oleh korporasi multinasional. Kedua hal ini merupakan ramuan ampuh untuk dijadikan alasan mengapa kelaparan di negara tertentu dianggap sebagai isu yang kurang “seksi” untuk dijadikan masalah internasional.