Di era digital yang terus berkembang seperti saat ini, layanan pembayaran digital menjadi populer di kalangan masyarakat. Kemudahan, kecepatan, dan fleksibilitas yang ditawarkan oleh platform digital telah merevolusi cara masyarakat dalam berbelanja, mentransfer uang, dan mengelola keuangan. Kemudahan dalam proses pembayaran ditunjukkan oleh kecepatan dalam proses pendaftaran. Selain itu, pembeli yang ingin bertransaksi tidak perlu bersusah payah menyediakan uang tunai dalam jumlah yang besar, sehingga mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan meskipun dana yang dimiliki belum mencukupi. Banyak promo menarik yang ditawarkan saat bertransaksi menggunakan layanan tersebut, juga semakin menambah daya tarik bagi konsumen. Namun, seiring dengan pertumbuhan pesat ini, kesadaran masyarakat khusunya masyarakat muslim mengenai aspek halal dan haram dalam penggunaan layanan tersebut dan juga mengenai kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah, seperti konsep Qardh, masih tergolong rendah.
Qardh dalam ekonomi syariah merujuk pada pinjaman tanpa bunga yang diberikan untuk membantu peminjam tanpa membebani mereka dengan biaya tambahan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, akad Qardh didefinisikan sebagai akad pinjaman dana yang menetapkan bahwa nasabah harus mengembalikan dana yang diterima sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama. Landasan hukum akad Qardh ini didasarkan pada prinsip tolong-menolong dalam kebaikan antara pihak yang memberikan pinjaman dengan pihak yang diberi pinjaman. Dalam konteks layanan pembayaran digital, penerapan prinsip Qardh berarti menyediakan fasilitas pembayaran atau pinjaman yang tidak mengenakan bunga atau biaya tambahan, sehingga konsumen tidak terjerat dalam hutang yang memberatkan.
Namun, syarat dan ketentuan dalam akad Qardh saat ini masih belum diterapkan pada layanan digital. Seperti contoh Shopeepay later, kredivo, Aku laku, gopay later, Home Credit, Indodana, dan lainnya, sehingga praktik pelaksanannya bertentangan dengan syariat Islam. Layanan tersebut sering kali melibatkan biaya keterlambatan atau bunga jika pembayaran tidak dilakukan tepat waktu. Hal tersebut termasuk dalam kategori riba qardli (riba utang) karena meskipun kedua pihak telah sepakat atas kontrak atau perjanjian yang diajukan, keberadaan unsur tambahan (ziyadah) yang disyaratkan sejak awal memberikan keuntungan bagi pemberi pinjaman sekaligus membebani penerima pinjaman.
Di sisi lain, terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa transaksi utang piutang yang dilakukan melalui layanan aplikasi digital tidak tergolong riba yang diharamkan. Hal ini dikarenakan tambahan tersebut dianggap sebagai imbalan atas penggunaan aplikasi, sehingga dianggap bagian dari akad ijarah (sewa jasa aplikasi) dengan besaran biaya yang telah ditentukan secara jelas (ma'lum). Menurut Muhammad Syamsudin berdasarkan kitab Al- Mughni karya Ibnu Qudamah, biaya tambahan yang timbul akibat penggunaan aplikasi sebagai perantara antara peminjam dan konsumen tidak termasuk dalam kategori riba (Syamsudin, 2020).
Oleh karena itu, dalam menyikapi perbedaan pandangan hukum yang ada, masyarakat dapat secara bijak mempertimbangkan prioritas kebutuhan yang dimiliki sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Bagi mereka yang benar-benar membutuhkan atau berada dalam keadaan mendesak, dapat mengikuti pendapat yang membolehkan. Namun, jika kebutuhannya tidak mendesak, sebaiknya menghindari penggunaan layanan dalam aplikasi tersebut karena terdapat indikasi unsur riba yang dilarang. Sebagai alternatif, beberapa bank syariah kini telah menyediakan layanan digital berbasis prinsip Qardh yang menawarkan pembiayaan dan solusi pembayaran tanpa bunga, sehingga dapat menjadi pilihan lain bagi masyarakat.
Daftar Putaka:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H