Awan hitam yang pekat seolah
menutup indahnya cahaya mata,
kian berarak merangkul pucuk
gunung yang megah tanda
senja mulai menyapa. Aku… aku
adalah cahaya, seorang gadis cilik yang dilahirkan oleh
keluarga kecil yang hidup
dengan ketidak mampuan di
sebuah desa agraris. Miskin???
yaa.. mungkin lebih tepatnya itu,
aku memang miskin dan itu adalah keadaan yang tak
pernah aku keluhkan, meski
harus menjadi buruh cuci di
rumah tetangga dan memulung
botol bekas dan sampah yang
bisa ku jual untuk biaya sekolah ditengah himpitan
kebutuhan yang semakin melejit.
Ku hadapi itu semua dengan
keikhlasan, senyuman dan tetap
bersyukur kepada sang Maha
Pencipta dan Yang Maha Bijaksana. Bapak bekerja
menjadi buruh tani di sawah
tetangga, karena kami memang
tidak mempunyai sepetak sawah
pun untuk digarap sendiri,
bapak hanya menyewakan jasa sebagai buruh untuk menghidupi
keluarga. Itu pun, sudah jarang
tetangga yang menyuruh bapak
bekerja di sawah atau diladang
tetangga, karena faktor usia
yang sudah renta dan penyakit asma yang diderita bapak sejak
tiga tahun lalu paska ditinggal
Ibu meninggal. Meski piatu,
tetapi beruntunglah aku dan
adik ku karena bapak masih
menguatkan diri menyekolahkan kami berdua. Aku yang kini
duduk di bangku SMK jurusan
Sekretaris dan adik ku Sholeh
yang masih duduk dibangku
Sekolah Menengah Pertama.
Terkadang terpaksa bapak meminjam uang kepada rentenir
di desa sebelah untuk
membayar uang sekolah ku
yang sangat besar bilangannya
hingga uang buruh tani dan
buruh mencuci ku pun tak cukup juga untuk
membayarnya, karena yang
sudah kita ketahui dana
Bantuan Operasional Sekolah
hanya bisa dinikmati sembilan
tahun wajib belajar. Dulu pernah aku mengajukan surat tanda
tidak mampu kepada perangkat
Desa dan Dinas setempat,
namun apa nyatanya? ku hanya
mampu tersenyum pedih… ini-
itu, sana-sini, kanan-kiri, harus ada uang pelicin. Dalam hati
penuh kebencian namun raut
muka yang penuh pengharapan
ku bergumam “untuk makan
sehari-hari saja kami harus
memungut sisa-sisa beras kotor bercampur kerikil dan tanah,
dari pabrik penggilingan padi di
dekat rumah. Makan dengan
garam tanpa lauk, kerupuk dan
ikan asin pun tidak, mana
mampu kami membayar uang pelicin ini-itu sana-sini?”.
Sejenak terdiam… apakah mata
hati semua orang berpangkat
sudah tertutup dengan “UANG”
hingga ia buta melihat keadaan
dan memakan hak orang-orang seperti kami?. Hanya kejujuran
hati anda sendiri dan keikhlasan
dalam membantu yang mampu
menjawab itu semua. *** Ditengah malam yang remang,
karena hanya ada satu lilin
penerang untuk belajar aku dan
Sholeh, selain ruang belajar
sekaligus tempat kami
berkumpul bersama. Ruangan kamar dan dapur dalam
keadaan gelap tanpa penerang
karena kami tak mampu
membayar uang jasa listrik
penerang. Sedikit ada
percakapan diantara aku dan bapak ketika aku dan sholeh
sedang belajar untuk persiapan
Ujian Nasional. “uhuk..uhuk… ndok cayaha?”
(bapak memanggil ku dengan
nafas yang tersedak-sedak
karena kondisi Bapak yang
sedang sakit) “iya pak… ada apa, bapak mau
minum? Biar cahaya saja yang
mengambil” (begitu pun aku,
menjawab pertanyaan bapak
dengan nada lembut dan
sesopan mungkin) “ndak usah ndok, kamu lagi
sinau, nanti biar bapak saja
yang ambil sendiri. Bapak mau
bilang sesuatu sama kamu
ndok…” “bapak mau bilang apa?” “besok kan sudah hari terakhir
kamu Ujian, dan bapak tau pasti
itu membutuhkan uang yang
banyak. Ini bapak ada sedikit
uang hasil buruh mencangkul di
sawah pak Dasem, mungkin jumlahnya tidak banyak tapi
mudah-mudahan dapat sedikit
membantu biaya sekolah kamu…
uhuk..uhuk…” “ndak usah pak, uang ini untuk
kebutuhan sekolah Sholeh dan
lagi pula bapak juga butuh uang
ini untuk biaya berobat bapak.
Jadi lebih baik bapak simpan
saja uangnya. Percaya paak… Cahaya insyalloh masih bisa
bekerja jadi buruh cuci dan
memulung sampah untuk
membayar biaya sekolah atau
nanti Cahaya akan jualan koran
untuk tambah-tambah”. “tapi ndok, kamu lebih
membutuhkan ini ketimbang
bapak dan Sholeh, iya kan
Lee’….” “bener mbak kata bapak, mbak
Cahaya lebih membutuhkan
uang itu” “ya sudah… Cahaya nurut,
Cahaya terima uang ini, makasih
ya pak” “iya ndok sama-
sama…” (bapak sembari
mencium kening ku) “ya sudah kalian berdua
istirahat.. besok kan kalian
harus bangun pagi-pagi” Aku dan Sholeh “iya pak….
Assalaamu’alaikum” “uhuk..uhukkk…
Waa’alaikumsalam..” Esok pagi dengan sigap dan giat
ku bangun pagi agar hari ini tak
terlambat kesekolah, karena
jarak yang lumayan jauh sekitar
7km dan ditempuh dengan
berjalan kaki. Sehingga setelah sholat subuh dan membuat
sarapan aku segera hengkang
meninggalkan rumah untuk
bergegas menuju sekolah. *** Usaha dan doa ku selama ini
tidak sia-sia. Alhamdulillah
setelah Ujian Nasional selesai
dan saat pengumuman
kelulusan, aku dinyatakan lulus
dengan nilai terbaik. Beribu ucapan syukur ya Robb semua
perjuangan ini tidak sia-sia (^_^). *** Namun setelah itu, otak
dirundung kepiluan yang amat
membingungkan, tekad untuk
mengadu nasib ke kota besar
sudah bulat tetapi hati terasa
berat meninggal bapak di kampung dengan keadaan
bapak yang sakit-sakitan. Dan
disisi lain tidak ada pilihan
karena hutang dan bunga
kepada rentenir di desa sebelah
yang sudah sangat membengkak. “Aryo.. Aryo… buka pintu rumah
mu atau kami akan
mendobraknya…!!!!” “uhukk..uhuk.. iya pak, sebentar
saya akan buka pintunya…” “aaaaaahhhhh…. membuka
pintu saja lama sekali…” “dobrak saja pintunya…!!!” Ke 3 depkolektor serentak
“siap bosss….” Bruuuuaaaaaakkkkkkkk…….!!!
suara pintu yang rapuh
terjatuh karena ulah rentenir
dan para depkolektor yang tak
mempunyai rasa sabar. Dengan ekspresi bola mata yang
hampir keluar dari kelopak
matanya rentenir itu
menghampiri bapak dan menarik
kerah baju bapak. Ketika
mengingat kejadian itu ingin sekali rasanya ku sematkan
samurai ke leher rentenir itu.
Kebencian yang mendarah
daging seolah sulit untuk
mengucapkan kata maaf. Ia
kejam, sadis, dan tak memiliki perikemanusiaan, sudah hampir
tak terhitung warga desa yang
mati karena kebiadapannya dan
para depkolektornya yang tak
segan-segan membakar hidup-
hidup warga yang belum mampu membayar hutang kepadanya.
Oleh karenanya saat bapak
diperlakukan seperti itu aku
dan Sholeh tak dapat berbuat
apa-apa, kami takut bapak
akan menjadi korban kebiadapan rentenir itu. “bayar hutang mu..! atau kau
dan tikus-tikus kecil mu ini pergi
meninggalkan rumah ini
sekarang juga” “jangan pak, jangan usir kami
dari rumah ini, saya mohoooon…
beri kamu waktu lagi untuk
membayar hutang-hutang
kami..!!” “halaaahhh… waktu-waktu,
manusia seperti kalian tidak
perlu ada toleransi” (sambil
mendepak bapak hingga tubuh
rentanya tersungkur menabrak
meja) Karena sudah tak tahan melihat
bapak diperlakukan semena-
mena seperti itu akhirnya ku
memberanikan diri untuk angkat
bicara. “sudah cukup..! buka mata
anda, dimana hati nurani anda?
UANG kah yang membutakan
mata anda, anda tak lebih
seperti orang-orang yang
berada di gedung-gedung mewah itu, mengatas namakan
rakyat tetapi justru mereka
KOR……. KORbankan hati nurani
rakyat? “hey… anak tikus, diam kau..!
celotehan kau tak kan pernah
berarti di telinga saya” “sebenarnya apa mau kalian,
UANG? Atau menyiksa kaum
seperti kami? “haha… mau saya adalah kau
gadis tikus (seraya meraba
pundak ku) Suasana hening sejenak dan
rentenir itu berkata lagi “baik…
(sambil manggut-manggut) saya
tidak akan mengusir kalian dari
rumah ini dan kalian akan
terbebas dari hutang-hutang kalian” “uhuk..uhuk.. benar pak?
Terimaksih banyak pak, kami
tidak akan pernah melupakan
belaskasihan bapak, terimakasih
banyak pak” “tetapi ada satu syarat..” “apa syaratnya pak?” “anak perempuan mu harus
ikut saya ke kota untuk
bekerja menjadi sekretaris saya
disana, dengar-dengar dia
lulusan terbaik bukan,
disekolahnya?” Bapak terdiam sejenak dan
berfikir, seolah tak rela untuk
mengizinkan aku pergi ke kota
untuk bekerja dengan rentenir
itu. “BAIK…!! aku mau ikut bekerja
dengan anda, asalkan jangan
pernah lagi mengganggu
keluarga ku dan bebaskan
semua hutang-hutang bapak..!” “ Cahaya…??? tidak…!!! lebih
baik kita pergi dari rumah ini” “tidak pak..! biarkan cahaya
pergi, percaya dengan cahaya
pak, cahaya akan baik-baik saja
disana” “saya tunggu kau di terminal
esok pagi, jika kau tidak hadir,
maka detik itu pula tinggal kan
rumah ini, mengertii..!!”
(rentenir dan depkolektornya
pergi meninggalkan rumah) Esok pagi, aku sudah berada di
terminal meski berat
meniggalkan bapak. Tetapi inilah satu-satunya cara agar bapak
terbebas dari hutang. “bagus.. ternyata ucapan kau
dapat dipercaya, masuk
kedalam mobil sekarang juga!” Tanpa perlawanan khusus ku
ikuti saja apa maunya rentenir
itu, meski hati dan muka ini
sudah muak melihat wajahnya.
Setibanya di kota aku sudah di
beri tugas dan pekerjaan yang luar biasa banyak. Dan satu
peraturan yang membuat ku
ingin sekali menyumpal mulut
rentenir itu dengan tong
sampah “aku harus bekerja
dengan membuka kerudung dan memakai pakaian ala lemper
atau androk mini dan baju yang
memperlihatkan lekuk tubuh
ku” Ya Alloh… terasa dada ini
diiris-iris belati, terasa pedih,
ingin melakukan perlawanan namun rentenir itu mengancam
akan membakar bapak hidup-
hidup di kampung. Ya Robb….
apa yang harus ku lakukan,
berikan petunjuk pada hamba
mu ya Robb, berikan hamba ketegaran dan kesabaran dalam
menghadapi ini semua. Hari-hari
kerja, ku jalani dengan
keterpaksaan dan tanpa
keikhlasan karena harus
memperlihatkan aurat ku. Aku harus mengikuti kemana pun
rentenir itu pergi, hingga ia
melakukan pekerjaanya ke luar
kota pun aku tetap harus
mendampingi ia pergi. Tidak ada
kecurigaan karena yang sudah- sudah aku pergi berdua dengan
rentenir itu dengan kamar hotel
yang berbeda, sehingga tak ada
kekhawatiran yang berlebihan
walaupun awalnya jantung ini
getar-getir saat pergi berdua bersama rentenir itu. Namun
kekhawatiran itu terjadi pada
malam ini, rentenir itu masuk
kekamar hotel tempat dimana
aku dan dia menginap. Ia masuk
saat aku sedang tertidur pulas, dan benar aku rasa pembaca
sudah dapat menebaknya.
Tubuh ku disatroni oleh rentenir
bejat itu, dengan sekuat
tenaga ku melawan untuk
mempertahankan keperawanan ku namun keadaan berkata lain,
keperawanan ku direnggut. Ia
mengancam akan membunuh ku,
Bapak dan Sholeh apabila ku
meloporkan perlakuan bejatnya
itu kepada polisi. Aku selalu lemah dan tak dapat melawan
ketika ia sudah mengancam
akan membunuh bapak. Ke
esokan harinya, aku di
telephone oleh tetangga ku di
kampung bahwa bapak sakit berat dan harus segera dibawa
kerumah sakit. Tanpa meminta
izin ku segera pulang ke
kampung untuk melihat keadaan
bapak karena aku sudah tahu
jawabannya apabila aku meminta izin kepada rentenir itu
pasti ia tak kan mengizinkan
aku pulang. Setibannya di
kampung, rumah geribik sudah
rata dengan tanah, tak tersisa
satu bekas pun disana. Ku tengok rumah tetangga yang di
kerumuni oleh banyak warga.
Banyak suara tangis disitu dan
ada yang membacakan ayat-
ayat Al-Quran. Tetangga ku pak
Dasem menghampiri ku menangis terisak-isak dan berkata “yang
sabar ya ndok, yang tabah, di
ikhlaskan, mungkin ini jalan
terbaik”. “apa maksud pak
Dasem, cahaya ndak ngerti?”.
“bapak dan Sholeh sudah meninggal karena di bakar oleh
para depkolektor”. “apa???..
innalillahi wainna ilahi roji’un…
bapaaaaaaak” Rentenir IBLIS
BIADAAAAAAAAAAAAP………..!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H