Flash Fiction Diary Megumi
Fukuoka, 09 Oktober 2012.
Dear Diary, lelah memang menjalani hidup seperti ini. Hidupku bagaikan guguran sakura yang jatuh di atas salju dan akan menjadi layu diatasnya. Tubuhku lemah, seperti mayat hidup yang terkulai tak berdaya di atas kursi roda. Aku sudah tak punya rambut. Semua gugur karena aku menderita kanker otak. Tapi aku tak patah semangat, karena aku punya mimpi, harapan dan cinta yang akan membuatku hidup selamanya.
Ada satu origami burung lagi yang belum aku selesaikan dan ini yang terakhir sebelum genap seribu origami. Aku percaya, bahwa keinginanku akan terwujud setelah aku bisa membuat seribu origami, seperti kepercayaan orang Jepang pada umumnya. Keinginanku adalah ngin hidup lebih lama lagi. Aku ingin sembuh, aku ingin bermain biola bersama Fadly dan aku juga ingin memiliki cintanya, meskipun sifatnya sangat kaku dan ..., ah rasanya aku tak kuat lagi bercerita padamu. Semuanya terasa sakit!
----
Aku membaca diary Megumi. Air mataku terus tergelincir dari sudut mataku. Tak kusangka gadis Jepang yang selama enam bulan koma ini mencintai aku seorang Indonesia yang sederhana. Selama ini aku juga mencintainya.
Aku tak mau kehilangannya. Sembari berpikir, aku meneruskan melipat origami burung yang ke seribu, yang tak sempat dikerjakan Megumi karena koma yang ia alami. Kuharap dengan genapnya seribu origami, harapan semua keinginanya terwujud, seperti yang ia tulis dalam diary terakhir kali.
“Aku tau kau ingin sekali bermain biola denganku. Bangunlah, Megumi!” bisiku di telinganya sembari meletakkan origami burung ke seribu disela-sela tangannya. Aku menggesekan biola dihadapanmu hingga aku terpejam menghayati setiap gesekan. Kuharap nada-nada yang keluar dari gesekkan biola ini sampai ke hatimu dan kau dapat merasakan getaran cintaku dari setiap gesekan biola yang kumainkan hingga kau terbangun.
“Fadly,” aku kaget dan mencari asal suara itu. “Megumi, kau sudah sadar?”
"Ya, Fadly."
“Utsukushii violin na geemu,” ucapmu lirih memuji permainan biolaku yang indah.”