Lihat ke Halaman Asli

Pemulihan Bencana Tidak Tepat Sasaran

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam itu Merapi kembali menunjukan keperkasaannya, merahnya semburan lahar dalam latar hitamnya langit malam semakin menguatkan keperkasaan paku bumi tanah Jawa tersebut.  Radius titik rawan awan putih diperluas, satu persatu  pos-pos pengungsian mulai di kosongkan.  Harta yang tersisa hanyalah yang melekat di badan.  Malam hari bagi para pengungsi adalah waktu dimana harapan dan kesabaran mereka diuji dalam keserba tidak pastianan.

Merapi adalah salah satu gunung teraktif di tanah Jawa.  Dalam kurun waktu dua tahun terakhir sudah dua kali Merapi menunjukan keperkasaannya.  Yang pertama adalah erupsi merapi di tahun 2009 dan yang terakhir adalah erupsi di tahun 2010.  Kini jejak-jejak keganasannya masih terekam jelas jika kita berkunjung ke kawasan merapi.

Hingga saat ini upaya pemerintah untuk melakukan penataan kembali kawasan korban erupsi merapi belum berjalan secara signifikan.  Banyak keluarga yang mengaku belum mndapatkan ganti rugi atau bantuan seperti yang dijanjikan olh pemerintah.  Padahal harta mereka telah banyak yang habis terkena awan panas.

Pada dasarnya belum optimalnya bantuan dari pemerintah bukan disebabkan karena distribusi di lapangan yang tidak merata atau buruknya koordinasi antar lmbaga di lapangan.  Ketidakberesan ini lebih disebabkan karena pemerintah tidak menempatkan diri mereka dalam cara berpikir masyarakat sekitar merapi atau lebih sederhananya pemerintah kurang memahami kearifan lokal masyarakat merapi.

Selama enjadi relawan di tanah merapi, penulis menemukan dikotomi cara berpikir antara masyarakat pesisir dan masyarakat pegunungan.  Perbedaan cara pandang dan cara berpikir ini lah yang akhirnya menghambat proses pemulihan pasca erupsi.

Pada hakikatnya harta terpenting bagi penduduk sekitara kawasan merapi bukanlah rumah ataupun tanaman pertanian tetapi lebih kepada ternak.  Ternak bagi masyarakat sekitar kawasan merapi bkan hanya sekedar hewan peliharaan yang kemudian akan diolah ketika mereka telah siap.  Bagi masyarakat kawasan merapi hewan ternak adalah bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Hal ini lah yang penulis temukan dilapangan, para pengungsi rela mempertaruhkan keselamatan mereka hanya untuk sekedar melihat kondisi ternaknya yang mereka tinggal selama mengungsi.  Pola berpikir masyarakat agraris pegunungan ini lah yang tidak dipahami oleh masyarakat pesisir yang notabene dekat dengan pola hidup moderen.  Sehingga tak heran hingga saat ini proses pemulihan korban pasca erupsi merapi terkesan berjalan di tempat.

Bagi masyarakat merapi hewan ternak adalah bagian dari kehidupan sosial mereka.  Keberadaan hewan ternak bukanlah harta benda yang dengan mudah akan dijual ketika mereka membutuhkan uang. Sedangkan masyarakat pesisir moderen cenderung melihat tanah sebagai harta mereka.  Perbedaan cara pandang dalam melihat kearifan lokal yang ada ini lah yang hingga saat ini kerap dilestarikan oleh pemerintah sehingga tidak heran jika penanganan bencana di Indonesia pada umumnya cenderung lambat.  Sehingga alangkah bijaknya jika pemerintah mau beljar memahami kearifan lokal ditanah bencana agar dapat memberikan penanganan yang tepat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline