Pro-Kontra atas Hasil Voting Ballon d'Or
Penobatan Leonel Messi sebagai pemenang Ballon d'Or edisi 2020/2021 menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ada kubu yang menganggap bahwa Messi pantas memenangi Ballon d'Or 2020/2021. Sementara di sisi yang berlawanan, ada kubu yang beranggapan bahwa hasil akhir tersebut tidak objektif. Beberapa media massa kemudian memanfaatkan isu ini sebagai "bahan jualannya". Di samping itu, tak sedikit 'komentar lepas' berseliweran di sosial media - dengan dasar argumentasi yang beragam pula - atas hasil akhir yang dianggap "kontroversial" tersebut. Berhadapan dengan desas-desus pro dan kontra ini, sebagai pemirsa sepak bola, kita mesti punya argumentasi yang jelas. Kita mesti tegas, berada di posisi yang mana: pro atau kontra. Jangan sampai, argumentasi kita tersembul dari fanatisme atas sang idola yang kalah.
Perlu diketahui bahwa pro-kontra terkait hasil voting Ballon d'Or bukan sesuatu yang baru. Pro-kontra semacam ini, juga pernah terjadi atas beberapa hasil voting Ballon d'Or pada edisi-edisi sebelumnya. CNN Indonesia mencatat setidaknya ada 5 hasil voting Ballon d'Or yang dianggap "kontroversial', yakni: edisi 1986 (Igor Belanov), 2001 (Michael Owen), 2003 (Pavel Nedved), 2000 (Luis Figo) dan 2010 (Lionel Messi). Pro dan kontra semacam ini tidak pernah menggagalkan kelayakan sang pemenang Ballon d'Or. Berita dan komentar ini tidak lebih dari "anakan" berita utama: Nama Pemain Sepak Bola Terbaik Sudah Diumumkan. Dan, pesepak bola terbaik sepanjang tahun 2021 adalah Leonel Messi!
Koalisi FIFA-France Football Magazine
Pergelaran awarding Ballon d'Or pertama kali diinisiasi oleh seorang jurnalis olah raga bernama Gabriel Hanot pada 1956. Ajang ini kemudian dipopulerkan oleh France Football Magazine (selanjutnya Majalah Sepak Bola Prancis). Namun, sepanjang 2010-2015, Majalah Sepak Bola Prancis ini pernah berkoalisi dengan FIFA dalam pergelaran Ajang Ballon d'Or. Itu makanya, dalam kurun waktu tersebut, nama ajang ini menjadi FIFA Ballon d'Or. Leonel Messi adalah pemenang terakhir FIFA Ballon d'Or, yakni di tahun 2015.
Selepas 2015, baik FIFA maupun Majalah Sepak Bola Prancis masing-masing masih menyelenggarakan ajang pemberian penghargaan pemain terbaik. Majalah Sepak Bola Prancis dengan Ballon d'Ornya, sementara FIFA dengan pemain terbaik versi FiFA. Namun, harus diakui bahwa ajang penghargaan versi FIFA tak cukup mampu mengalahkan pamor Ballon d'Or sebagai pergelaran paling prestisius dalam dunia sepak bola. Antusiasme para pesohor sepak bola, para jurnalis terkenal dan bahkan para selebriti dalam menghadiri ajang ini, setidaknya membuktikan bahwa Ballon d'Or adalah pergelaran paling elite dalam dunia sepak bola. Tidak ada acara awarding paling sering dibicarakan oleh pecinta sepak bola selain Ballon d'Or.
Mekanisme Penilaian Ballon d'Or
Sebelum berdebat tentang kelayakan pemenang Ballon d'Or, kita pertama-tama perlu memahami mekanisme penilaian a la Ballon d'Or. Sekali lagi ditegaskan, Ballon d'Or adalah ajang penghargaan yang diselenggarakan oleh Majalah Sepak Bola Prancis. Majalah Sepak Bola Prancis sendiri terdiri dari para jurnalis berprestasi dalam publikasi sepak bola dunia, khususnya sepak bola Eropa. Majalah ini dihormati karena akurasi pemberitaan yang prestisius dalam dunia sepak bola. Oleh karena itu, editorial Majalah Sepak Bola Prancis semacam "diberi otoritas" oleh dunia sepak bola untuk menentukan para juri dan 30 pemain ternominasi dalam ajang perebutan Ballon d'Or.
Orang-orang yang punya otoritas sebagai juri ialah para pelatih timnas, kapten timnas dan para jurnalis dari berbagai negara yang terdaftar sebagai anggota FIFA. Setiap negara hanya boleh diwakili oleh satu jurnalis terpilih. Itu berarti, ada 207 pelatih timnas, 207 kapten timnas dan 207 jurnalis yang berpatisipasi dalam voting Ballon d'Or edisi 2020/2021. Bila dijumlahkan, maka ada 621 suara yang menentukan siapa pemenang Ballon d'Or.
Para voters hanya punya otoritas memilih 5 nama dari 30 nama yang sudah ditentukan. Hal ini sedikit berbeda dari FIFA Ballon d'Or (2010-2015) yang mewajibkan para juri memilih 3 nama dari 23 nama yang sudah ditentukan. Pilihan terbaik pertama diberi poin 6, pilihan terbaik kedua diberi poin 4, pilihan terbaik ketiga diberi poin 3, pilihan terbaik keempat diberi poin 2, dan pilihan terbaik kelima diberi poin 1. Setiap pelatih diperbolehkan memilih pemain yang dilatihnya dan setiap kapten timnas diperbolehkan memilih teman senegarannya. Sementara, kapten timnas yang ternominasi tidak diperbolehkan memilih dirinya sendiri. Bila para pemain mendapatkan poin yang sama, maka pemenangnya ditentukan berdasarkan poin 6 terbanyak. Apabila dari poin 6,4,3,2 hingga 1 masih seri, maka, voting bisa dilakukan sekali lagi. Dan, jika masih seri juga, maka editorial Majalah Sepak Bola Prancis punya otoritas untuk menentukan pemenang Ballon d'Or.
Mengapa Hasil Voting Dipermasalahkan?
Lalu, mengapa status pemenang Ballon d'Or kadang-kadang dipermasalahkan?
Pertama, soal otoritas para juri "yang diberikan". Prestasi wahid Majalah Sepak Bola Prancis telah melanggengkan posisinya sebagai majalah paling dihormati dalam dunia sepak bola. Posisi tersebut menjadikan editorial majalah ini sebagai "otoritas tertinggi" penentu para juri dan nominasi pesepak bola terbaik sepanjang tahun. Identitas yang demikian prestisius membuat sepak bola seolah "melimpahkan kepercayaan" kepada majalah ini sebagai penyelenggara ajang pemberian penghargaan sepak bola paling valid dan akurat. Ajang ini kemudian termanifestasi dalam Ballon d'Or Award.
Otoritas "yang diberikan" kepada majalah ini menutup standar penilaian dari majalah-majalah sepak bola lain. Bagi beberapa pihak, "pelimpahan kepercayaan" yang berlebihan ini cenderung otoritatif dan subyektif. Dikatakan otoritatif, karena majalah ini seolah lebih paham sepak bola ketimbang pesepak bola itu sendiri. Dikatakan subyektif, karena para juri belum tentu tahu dengan jelas statistik objektif setiap pemain. Di samping itu, para juri yang datang dari berbagai negara, juga belum tentu bisa menilai attitude setiap pemain di luar lapangan. Sebab, hampir semua juri bukan sahabat atau kenalan para pemain. Makanya, pilihan mereka kadang-kadang dituduh sangat subyektif.