Untuk mengawali tulisan ini, saya ingin menginformasikan sedikit beberapa aktivitas harian saya. Informasi ini perlu setidaknya untuk mengetahui latar belakang tulisan ini; Mengapa saya tiba-tiba tertarik menulis tema biblis ini.
Saya adalah seorang pengajar (paruh waktu) mata pelajaran Agama Katolik pada salah satu Sekolah Internasional di kota Bandung. Di samping membaca, menulis, menonton film, merokok dan membersihkan kamar kost, saya juga kerap kali menghabiskan waktu dengan membaca beberapa kisah Kitab Suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Tulisan ini berangkat dari aktivitas terakhir saya di atas. Salah satu kisah Kitab Suci yang akan saya refleksikan kali ini adalah kisah tentang Yakub dan Esau. Inti kisah ini ialah tentang Yakub yang merebut hak atas berkat anak sulung dari kakaknya, Esau (Bdk. Kejadian 27:1-40).
Makna "Berkat" dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, istilah "berkat" selalu dipahami sebagai pemberian (Gift) dari Sang Yahweh (Allah). Kita tentu saja ingat dengan kisah Panggilan Abraham dalam Kitab Kejadian 12:1-9. Di sana, Allah berfirman kepada Abraham demikian;
" Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kej 12:1-3)
Dari kisah Panggilan Abraham, kita kemudian mengerti bahwa: Pertama, "Berkat" selalu disertai kemasyhuran dan nama besar. Semua itu diberikan Allah kepada orang-orang spesial seperti Abraham.
Kedua, "Berkat" tidak lain adalah aktivitas sekaligus kuasa. Sebagai aktivitas berarti, "Berkat" adalah tindakan pemberi berkat kepada penerima berkat. Disebut kuasa berarti, "Berkat" adalah kuasa (mandat/kepercayaan) yang diberikan oleh pemberi berkat kepada sang penerima berkat. Formulasi Firmam Allah di atas, nanti akan dipakai juga oleh Ishak saat memberkati Yakub (Bdk. 27:28-29).
Dengan demikian, yang sedang diperebutkan oleh Yakub dan Esau sebetulnya bukan soal 'kesulungannya', melainkan soal 'berkatnya'. Yang jelas, status sebagai anak sulung Esau tidak pernah bisa digantikan oleh Yakub. Yakub dan Esau sedang memperebutkan kemasyhuran, kuasa dan nama besar. Keduanya sedang berkompetisi merebut hal-hal tersebut di atas.
Hak Kesulungan dalam Tradisi Yahudi
Perlu diketahui, Bangsa Yahudi memperlakukan anak sulung dengan sangat istimewa. Anak sulung mendapatkan tempat pertama setelah ayahnya (Bdk. Kejadian 43:33) dan punya semacam otoritas untuk mengarahkan adik-adiknya (Bdk. 37:21-22, 30, dst).