Pengantar
Persoalan filosofis yang tak kunjung mendapat kesepakatan universal di antara para filosof adalah terkait doktrin Dasar Eksistensi. Pencarian atas Dasar eksistensi dari segala yang ada mengantar para filosof pada penemuan-penemuan intelektual yang kemudian dibahasakan dalam beragam terminologi. Terminologi-terminologi yang dikemukakan biasanya berkisar: forma, materi, substansi, esensi, prinsip, Being, realitas transenden, dst. Meskipun ada beberapa terminologi yang sama dipakai oleh para filosof, namun terminologi tersebut ternyata dipahami secara berbeda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Itulah karakter filsafat. Filsafat selalu ingin "bertengkar".
Sebetulnya, semua terminologi tersebut ialah produk dari usaha menamakan apa yang para filosof sebut sebagai Prinsip Dasar Realitas atau Dasar Eksistensi. Dalam tulisan ini, penulis berusaha menguraikan doktrin filosofis temuan proyek intelektual Gottfried Wilhelm von Leibniz (selanjutnya Leibniz) tentang dasar eksistensi. Penulis juga memaparkan secara singkat terkait pergulatan filosofis awali tentang doktrin yang sama.
Berdasarkan pencarian filosofisnya, Leibniz menamakan temuan intelektualnya dengan istilah "Monad". Penulis juga akan menyampaikan uraian kritis atas pemikiran Leibniz.
Sekilas Pergulatan Filosofis Para Filosof Awali
Pencarian akan Dasar Eksistensi sebetulnya bukan persoalan baru dalam diskursus filosofis. Diskursus terkait Dasar Eksistensi atau Prinsip Dasar Realitas sudah menjadi materi elaborasi filosofis sejak zaman Yunani klasik. Para filosof Yunani klasik awali cenderung menjadikan alam sebagai instrumen untuk sampai kepada Dasar Eksistensi. Dalam tahap-tahap awalnya, filsafat Yunani tampak semata-mata berurusan dengan dunia fisik saja. Kecenderungan ini melahirkan satu cabang filsafat yang disebut Kosmologi. Para filosof Yunani Klasik berusaha menjelaskan alam secara mandiri tanpa tuntunan wahyu dan otoritas eksternal.
Thales misalnya, salah seorang filosof kosmologi awali, yang dengan lantang mendeklarasikan air sebagai prinsip dasar realitas. Kemudian doktrin ini ditentang oleh Anaximandros. Anaximandros menegaskan bahwa dasar eksistensial dari segala yang ada adalah to apeiron "yang tak terbatas" (peras=batas). Apeiron itu bersifat Ilahi, tak terubahkan, dan meliputi segalanya.
Para filosof Yunani Klasik juga bersilang pendapat terkait persoalan ini. Ada filosof yang meletakkan air sebagai prinsip realitas, namun yang lain melihat udara, tanah, apeiron sebagai prinsip atau dasar dari segala yang ada. Perang argumentasi filosofis sejak Yunani klasik sudah begitu kentara. Semua filosof masing-masing mengusung argumentasi dan metodologi yang khas. Persoalan metafisis boleh dikata mulai mendapat perhatian tatkala Heraklitos mengusung "gerak" sebagai Prinsip Dasar realitas. Konsep ini kemudian ditantang oleh Parmenides yang mempromosi "tetap" sebagai dasar eksistensi semua entitas.
Persoalan "tetap" dan "gerak" atau "berubah" telah melahirkan dua aliran besar dalam sejarah filsafat, yakni rasionalisme dan empirisme. Dalam hal ini, Leibniz termasuk dalam filosof rasionalis. Harus diakui, produk berpikir para filosof Yunani klasik memberikan sumbangsi penting dalam ranah ilmiah dewasa ini.
Gagasan Leibniz: Monad Sebagai Dasar Eksistensi
Rene Descartes menemukan dasar eksistensi semua entitas dalam kesadaran akan aku. Descartes kemudian menamakan temuan intelektualnya dengan sebutan cogito (saya berpikir), yakni kesadaran akan 'aku yang sedang berpikir'. Bagi Descartes, satu-satunya kebenaran yang tak terbantahkan ialah bahwa 'aku sedang berpikir'. Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa ada tiga jenis substansi, yakni cogitans, extensa, dan ide tentang Allah.