Lihat ke Halaman Asli

Konstantinus Jalang

Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Iklan Politik

Diperbarui: 13 Januari 2021   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menurut Jean Pierre Bourdieu, selera sebagai disposisi subjek (habitus) dalam preferensi bisa dikondisikan oleh pihak lain. Pengkondisian yang terus-menerus membuat subjek terkondisi tidak menyadari bahwa kesadarannya sedang dikontrol oleh pihak lain. Dalam hal ini, selera dipahami sebagai disposisi yang tampak pada sikap, tendensi dalam mempresepsi, merasakan, melakukan dan berpikir sesuai dengan kondisi objektif subjek. Disposisi seorang mahasiswa Filsafat berbeda dari mahasiswa Arsitek. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi objektif yang mengitari keduanya berbeda. Kesadaran keduanya sama-sama dipengaruhi oleh lingkungan akademisnya masing-masing. Selera politik massa dapat digiring melalui bahasa iklan yang idealis-persuasif. Iklan tidak lain adalah instrumen manipulasi kesadaran.

Iklan politik selalu dimanfaatkan sebagai instrumen pengkondisian kesadaran massa. Kesadaran massa dikondisikan untuk menaruh kepercayaan, kepatuhan serta keyakinan pada isi iklan politik, entah yang terpampang di pinggiran jalan ataupun di media sosial. Iklan politik tidak lain adalah kampanye dalam bentuk slogan yang mewakili citra, misi dan visi partai politik tertentu. Bahasa iklan biasanya tidak realistis.


Dalam perspektif politik-totaliter, cara kerja iklan berorientasi pada pencabutan kebebasan subjek dalam memilih, meyakini dan mempresepsi. Iklan yang menyerang subjek secara terus-menerus berpotensi menggiring dan mengkondisikan subjek agar isi iklan dipatuhi, diyakini dan bahkan dimiliki sebagai cara pandang subjek itu sendiri. Iklan dengan demikian bisa dipandang sebagai instrumen politik-ideologi, duta, alat propaganda status quo. 

Bahasa iklan biasanya persuasif dan cenderung idealis. Massa yang tidak kritis akan mudah tunduk pada rayuan iklan politik. Ketundukan subjek atas rayuan iklan tidak lain adalah momen alienasi subjek dari kebebasannya sendiri. Idealitas yang ditawarkan iklan memanipulasi dan mengalienasi individu. Konspirasi pemilik modal dengan elite politik melahirkan iklan politik. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan paralel dengan kecanggihan alat dan strategi dominasi, kontrol, manipulasi dan alienasi. Iklan politik yang disebarkan melalui produk teknologi potensial mengontrol kesadaran subjek.


Fenomena pertarungan politik di tanah air justru menampilkan realitas bujukan politik semacam ini. Sepanduk iklan politik biasanya dipajang di jalanan. Televisi, Koran, majalah, radio dan bahkan youtube juga dipakai untuk mempersuasi massa pemilih. Bahasa iklan biasanya dirumuskan sedemikian rupa sehingga mampu membujuk dan mengarahkan kesadaran massa. Slogan iklan politik menjelaskan dan mendefenisikan citra partai politik pengiklan. Metode iklan menambah gaya baru propaganda politik selain kampanye terbuka dengan arak-arakkan dan pawai serta orasi seribu janji, slogan dan jargon berisi tuntutan-tuntutan reformasi.


Di Indonesia, setiap media komunikasi massa sama sekali tidak berwatak netral. Media modern-kontemporer Indonesia cenderung “berselingkuh” dengan kepentingan politik kelompok tertentu. Bahkan ada politisi yang sekaligus pemilik stasiun suatu televisi. Misalnya, Surya Palo (ketua umum partai Nasdem sekaligus pemilik Metro TV), Hary Tanoesoedibjo (politisi Perindo sekaligus pemilik MNC Group: MNC TV, Global TV, iNEWS TV dan RCTI) dan Aburizal Bakrie (politisi Golkar sekaligus pemilik TV One dan ANTV). Watak stasiun-stasiun televisi di atas tentu saja mengabdi kepentingan politik para pemiliknya.


Beberapa stasiun televisi yang tergabung dalam MNC group misalnya cenderung memberitakan keunggulan Hary Tanoe dan Perindo. Pada saat yang sama, stasiun televisi yang lain juga memberitakan keunggulan partai politik pemiliknya. Untuk itu, tidak perlu mengharapkan media-media seperti ini memberitakan diskursus politik yang edukatif dan transparan. Dalam hal ini, politisi sekaligus pemilik stasiun televisi dengan mudah memberi mandat kepada kaki tangannya untuk sesering mungkin menampilkan iklan partai politiknya di televisi. Maka iklan-iklan politik dirancang sedemikian rupa dengan menawarkan slogan dan citra yang ideal demi menciptakan atau merekayasa kesadaran (kebutuhan) khalayak akan produk (politisi) dan jasa (gagasan politik) yang diiklankan.
Politisi sekaligus pemilik stasiun televisi juga berusaha menghilangkan kejahatan masa lalunya melalui citra baik, saleh dan cerdas yang terus dipropagandakan iklan TV-nya. Atau sekurang-kurangnya, kejahatan rekan politik sang pemilik stasiun televisi berusaha dihilangkan dengan citra “saleh” yang ditampilkan di TV.  Citra “saleh” yang diiklankan tidak lain adalah upaya pembungkaman ingatan sosial akan kisah kelam masa lalu politisi tersebut.Tolong-menolong seperti ini bagian dari konspirasi politik yang busuk!


Selain persuasif, bahasa iklan juga cenderung menyudutkan dan menjatuhkan lawan politik. Karena itu, politik bukan lagi dihayati sebagai seni mengelola negara, melainkan dimaknai sebagai strategi penyingkiran dan pelenyapan lawan politik. Iklan politik tidak pernah tidak mewakili idealitas misi dan visi politik kelompok yang diiklankan. Idealitas kelompok tersebut tampak dalam bahasa iklan. Pertarungan wacana dalam iklan dengan demikian rentan terjadi. Dalam kaca mata Bourdieuan, pertarungan wacana dalam bentuk slogan iklan politik bagian dari karakter pertarungan suatu ranah.


Efektivitas iklan diukur sejauh isi iklan dapat menjawab kegelisahan dan harapan massa yang dibujuk. Setiap iklan politik dengan demikian berusaha menjawab pergulatan konkret massa dalam bentuk janji. Dalam iklan tersurat program kerja, kesusksesan dan keberhasilan suatu kehidupan bersama. Itu semua hanya janji. Iklan efektif lantaran mampu menyapa secara personal, menggugah perasaan, menggelorakan semangat kebangsaan dan menggiring pada keputusan dan pilihan. Iklan mengkondisikan selera massa untuk memilih dan menaruh kepercayaan pada partai politik yang diiklankan. Oleh karena itu, setiap subjek sosial harus kritis atas setiap upaya persuasif iklan. Dominasi dan alienasi adalah momen di mana selera politik subjek diciptakan oleh para elite politik.

Oleh: Venan Jalang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline