Lihat ke Halaman Asli

Film "Seven": Menemukan tuhan di Atas Tuhan

Diperbarui: 26 Februari 2016   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="William Somerset (Morgan Freeman) dan David Mills (Brad Pitt) sedang memeriksa fakta-fakta dari kasus yang mereka tangani (Sumber: cinelipsis.com)"][/caption]Dalam salah satu ajaran agama, diajarkan tentang tujuh dosa pokok yakni: kesombongan, ketamakan, iri hati, kemarahan, hawa nafsu, kerakusan, dan kemalasan. Berdasarkan ajaran inilah film "Seven" dibuat.

Film ini menceritakan kisah kasus pembunuhan berantai yang ditangani oleh David Mills (diperankan oleh Brad Pitt) dan William Somerset (Morgan Freeman). Duet detektif yang terpaut jauh secara pengalaman dan usia ini, berpadu ciamik dalam memecahkan kasus pembunuhan berantai. Somerset yang digambarkan sedang menuju masa pensiun dan Mills yang baru saja memulai karir sebagai detektif dihadapkan kasus kompleks karena pembunuh tidak meninggalkan jejak sekalipun. Kasus pertama menyangkut pembunuhan seseorang yang memiliki berat badan berlebihan. Setelah beberapa kasus pembunuhan serupa terjadi, baru kemudian para detektif ini menyadari bahwa pembunuhan-pembunuhan tersebut saling berkaitan.

Dalam setiap aksinya, pembunuh meninggalkan tanda berupa satu kata. Masing-masing korban yang dibunuh menulis dengan darah mereka sendiri kata tsb, yakni: kerakusan, kemalasan, kesombongan, dsb. Somerset yang pada awalnya tidak ingin menangani kasus tsb karena menjelang masa pensiun, akhirnya menyetujui saran Mills untuk tetap menangani kasus tsb hingga akhir.

Somerset yang menemukan pola pembunuhan yang berkaitan dengan tujuh dosa pokok, menenggarai bahwa pelaku pembunuhan berantai berkaitan dengan buku yang dipinjam diperpustakaan wilayah setempat. Setelah bekerjasama menelaah daftar peminjam buku diperpustakaan, sampailah Somerset dan Mills pada satu nama: John Doe (Kevin Spacey). Ketika mereka hendak mengajukan pertanyaan pada Doe, Doe segera melarikan diri ketika melihat mereka berada didepan pintu apartemennya. Mills yang ketika itu mengejar Doe justru malah terluka dan tidak dapat menangkap Doe.

Mengalami hal tsb Mills sangat yakin bahwa pelaku pembunuhan berantai tsb adalah Doe. Mills bersikeras untuk masuk ke apartemen Doe, meski dilarang oleh Somerset. Dalam apartemen inilah terlihat bahwa Doe menyimpan dokumentasi aksi pembunuhan berantainya serta bahwa Doe dan Mills pernah bertemu secara tidak sengaja. 

Ketika jumlah korban telah mencapai lima, Doe menyerahkan diri pada Mills dan mengatakan bahwa akan ada dua korban lagi untuk melengkapi tujuh dosa pokok menurut pikirannya. Dua korban inilah yang harus Mills dan Somerset tangani sendiri tanpa bantuan polisi lain, sebagaimana syarat yang diajukan oleh Doe. Dalam perjalanan menuju tempat yang diarahkan Doe, Mills berdebat dengan Doe mempertanyakan alasan Doe melakukan pembunuhan berantai. Doe mengatakan pada Mills bahwa seharusnya orang seperti Mills berterimakasih terhadap Doe yang melakukan pembersihan dosa.

********

Film ini dimainkan ciamik oleh para pemerannya. Sebagaimana film pada umumnya, para pemerannya seakan menjadi spesialis entah protagonis atau antagonis dalam sebagian besar peran yang dimainkannya. Morgan Freeman dan Brad Pitt dengan kemampuan aktingnya yang tak terbantahkan bermain dengan baik sebagai pemeran protagonis. Sedangkan Kevin Spacey, seolah menjadi spesialis pemain antagonis, juga berperan dengan ciamik.

********

Film lawas (1995) besutan sutradara ternama David Fincher ini ternyata masih relevan hingga berpuluh tahun kemudian. Di Amerika, Donald Trump sedang berjaya diatas lawan-lawannya dengan mengusung kebencian dan intoleransi serta menuding semua kesalahan berdasarkan agama atau asal negara. Di Jerman, sebuah partai baru bernama AfD juga mengusung kebencian dan intoleransi serta bertujuan untuk memurnikan bangsa Jerman. Partai baru ini juga sedang naik daun dan memperoleh prosentase pemilih yang cukup signifikan dibandingkan partai lama. Di Indonesia, fenomena ini juga berkembang lewat FPI yang mengobarkan semangat intoleransi bahkan terhadap patung sekalipun.

Seorang tokoh psikoanalisa, Alfred Adler, menjelaskan bahwa dibalik setiap rasa rendah diri (inferiority complex) tersimpan sedikit banyak superioritas kompleks (superiority complex). Rasa rendah diri ditandai dengan sikap yang selalu menemukan kesalahan orang lain (fault finder), menarik diri, merendahkan orang lain, sangat sensitif, takut berbuat salah dan takut disalahkan, serta tidak dapat berkompetisi secara sehat. Rasa rendah diri dapat mengakibatkan rendahnya kinerja. Salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri atau kompensasi dari rasa rendah diri adalah superioritas kompleks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline