Lihat ke Halaman Asli

Jokowi: An American Dream ≈ Pancasila?

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika anda masih kanak-kanak, apakah rumah anda pernah digusur hingga 3 kali? Anda pernah mengojek payung atau jadi kuli panggul demi memenuhi kebutuhan sekolah atau "sekedar" mendapat uang jajan? Jika anda pernah mengalami hal seperti itu pada masa kecil, kira-kira apa cita-cita anda kelak? Menjadi presiden tentu bukanlah salah satu cita-cita yang masuk akal dengan pengalaman hidup yang demikian. Tapi itulah hidup, yang kemudian membawa salah satu warga negara kita menjadi presiden. Dialah presiden baru kita: Joko Widodo.

Pertanyaannya kemudian, dengan riwayat hidup yang demikian, apakah Jokowi representasi dari "an American dream"? An American Dream merujuk pada filosofi orang Amerika yang berkenaan dengan kebebasan termasuk diantaranya kesempatan untuk hidup sejahtera dan sukses (sumber). Mengutip James Truslow Adams (1931) yang menyatakan bahwa dalam hidup sebaiknya lebih baik dan kaya dan lengkap untuk semua orang, dengan kesempatan yang sama bagi setiap individu berdasarkan kemampuan atau pencapaian dan terlepas dari kelas sosial atau keadaan apapun yang dimilikinya sejak lahir. Ide American Dream ini sendiri berakar dari deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (United States Declaration of Independence) yang menyebutkan bahwa setiap manusia diciptakan sama (all men are created equal).

Contoh nyata roh American Dream yang asli berasal dari Amerika sudah banyak diketahui, seperti misalnya Bill Gates, Mark Zuckenberg, dan Steve Jobs yang tidak menamatkan kuliahnya namun mampu membangun kerajaan bisnis raksasa. Atau Oprah Winfrey yang terlahir dari ibu seorang pembantu rumah tangga dan ayah buruh tambang serta dibesarkan oleh neneknya yang sangat miskin, sangat miskin sehingga Oprah kecil hanya dapat mengenakan baju dari karung kentang (sumber).

Jokowi bukanlah satu-satunya contoh dengan mobilitas sosial ekonomi yang berubah di Indonesia. Menyebut Mugiono, seorang tukang becak yang putrinya mendapat beasiswa di London (sumber), Bob Sadino, pengusaha sukses yang tak lulus SD, atau Warsito Taruno, seorang anak desa yang jadi ilmuwan berskala internasional (sumber). Melihat mereka sebagai saksi mobilitas sosial ekonomi, apakah itu berarti bahwa semangat American Dream sudah merasuk ke sukma segenap rakyat Indonesia?

Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Jika dicermati, ternyata Pancasila memiliki roh yang kurang lebih sama dengan American Dream. Sila ke-2 Pancasila berbunyi, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Selain itu, sila ke-5 Pancasila berbunyi, "Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia". Dua sila ini secara tidak langsung memungkinkan adanya perubahan strata sosial ekonomi (definisi mobilitas sosial dapat dilihat disini). Mobilitas sosial dimungkinkan terjadi dinegara kita karena, mengacu pada sila ke-2 Pancasila, mobilitas sosial merupakan hal yang manusiawi, adil, dan beradab. Selain itu, mengacu pada sila ke-5 Pancasila, mobilitas sosial mungkin terjadi pada seluruh rakyat Indonesia berdasarkan asas keadilan.

Penelitian dari Sarah Sattelmeyer dan Erin Currier (2014, sumber) mengungkap hubungan tentang mobilitas sosial. Hasil penelitian mereka adalah:

1. Pendidikan, terutama pendidikan tinggi, merupakan kunci penting mobilitas sosial. Individu berpendidikan tinggi memiliki kemungkinan memiliki pendapatan dan kekayaan yang lebih besar dibandingkan orang tua mereka. Hal ini berlaku pada seluruh kelas strata sosial ekonomi. Meski demikian, individu yang berasal dari keluarga kelas sosial ekonomi menengah kebawah cenderung memiliki pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan sebaya mereka yang berasal dari keluarga kelas sosial ekonomi menengah keatas.

2. Lingkungan kelas sosial ekonomi mempengaruhi kesempatan dan berkontribusi pada mobilitas kelas sosial. Meski penelitian ini membedakan antara keluarga kulit hitam dan kulit putih, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dari keluarga kelas sosial ekonomi menengah kebawah memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk turun kestrata kelas sosial ekonomi yang lebih rendah. Hal demikian kecil kemungkinannya terjadi pada anak dari keluarga strata kelas sosial ekonomi menengah keatas. Hal ini terlepas dari fakta tentang tingkat pendidikan orang tua atau status pekerjaan orang tua.

3. Mobilitas ekonomi dan stabilitas ekonomi saling berkaitan. Individu yang mampu untuk melakukan mobilitas sosial dari kelas ekonomi menengah kebawah menjadi kestrata kelas ekonomi menengah atas memiliki stabilitas keuangan yang lebih baik dibandingkan sebaya mereka yang tetap pada kelas sosial ekonomi menengah kebawah. Kelompok ini cenderung memiliki tabungan dan kekayaan yang digunakan lebih untuk investasi demi stabilitas dan mobilitas ekonomi mereka dimasa depan.

Penelitian membuktikan bahwa mobilitas sosial mungkin terjadi. Bukti nyata, seperti Jokowi, telah menunjukkan bahwa mobilitas sosial telah terjadi. Pancasila sebagai dasar negara kita telah menjadi pandu bagi kita bahwa mobilitas sosial adalah hal yang manusiawi, adil, dan beradab demi keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Selamat bekerja bagi pemerintahan Jokowi-JK. Salam Kompasiana!

Bacaan terkait :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline