"Dia mungkin punya masa lalu, tetapi saya punya Dilan." -- Ancika
"Ancika, Dia yang Bersamaku" adalah novel lanjutan dari trilogi Dilan (Dilan 1990, Dilan 1991, dan Milea) karya author favorit saya, Pidi Baiq. Sekedar informasi, tetralogi novel Dilan diangkat dari kisah nyata yang saling berkesinambungan dengan menghadirkan tiga sudut pandang yakni pada seri 1 dan 2 (Dilan 1990 dan Dilan 1991) diangkat berdasarkan persepsi Milea, pada novel ketiganya dengan judul "Milea" merilis cerita dari perspektif Dilan. Pada gilirannya, di seri ke 4 ini, Ancika bercerita. Nah, novel Ancika inilah yang akan saya review nantinya. Jadi langsung saja, mari!
Sebagai penggemar Ayah (sapaan Pidi Baiq), senang rasanya bisa membeli novel Ancika edisi terbitan I yang dibubuhi tanda tangan Ayah di halaman pertama serta ada sebuah amplop berisi copy-an puisi-puisi Dilan yang memang ditujukan untuk Ancika. Puisi sederhana, aneh, unik, dan tidak akan membuat orang heran, karena itulah Dilan.
Di halaman awal, novel dibuka oleh prolog Ancika yang lugas dan tegas seperti sudah menggambarkan bagaimana jati dirinya. Kemudian, pada bab ke satu, Ancika mulai memperkenalkan dirinya. Itu tidak menjadi hal yang membosankan bagi saya atau mereka yang memang sudah lama penasaran dengan sosok Ancika Mehrunisa Rabu. Lalu pada bab-bab berikutnya mulailah memasuki inti-inti cerita dan bagaimana Cika bertemu dengan Dilan pada akhirnya.
Cerita berkembang ketika Dilan mulai dilibatkan. Bahwa dalam novel ini kita bisa tahu bagaimana kelanjutan hidup Dilan setelah tidak lagi bersama Lia. Kehidupan yang baru, dan dengan orang-orang baru. Dilan yang sudah berkuliah dan menjadi pribadi yang lebih dewasa, tapi tetap menjadi dirinya sendiri dengan humor-humor yang akan selalu melekat pada dirinya.
Hal-hal yang saya suka dari buku ini adalah bagaimana figur Ancika digambarkan memiliki kepribadian yang berpendirian dan tegas, rajin belajar, mementingkan pendidikan, apa adanya, dan toleran. Dari segi cerita, memang tak sedramatis ketiga novel sebelumnya sehingga terkesan agak monoton. Masih ada hal-hal lain yang mungkin dapat di-explore atau konflik dan peristiwa penting dalam hubungan mereka berdua supaya chemistry lebih terjalin dan suasana cerita yang seru dapat terbangun. Gaya bahasa Ayah menjadi penyelamat dalam buku ini, juga bagaimana kota Bandung sesekali dideskripsikan dengan baik sehingga mampu membuat pembaca ikut merasakan bagaimana tenangnya suasana Kota Bandung kala itu.
Lebih jauh dari itu adalah bagaimana buku ini yang tidak terlepas dari Lia, kenangan yang tak akan bisa dihapus, tapi sudah berlalu. Dalam buku ini, lagi dan lagi Bunda memainkan peranannya dengan baik, bagaimana layaknya orang tua yang memberi arahan dan kepercayaan terhadap hubungan Cika dan Dilan. Cerita Cika dan Dilan dalam buku ini memang terkesan biasa saja, tapi itu lebih baik alih-alih mendramatisir keadaan. Pada novel ini, kita akan mendapati hubungan sehat terbangun sebagaimana seharusnya. Tidak mendominasi, tumbuh bersama, saling menghargai, dan tidak menuntut. Dan buku ini juga memberikan aneka macam humor yang dikemas baik oleh Ayah.
Sebagai penutup, novel ini akan selalu layak dibaca oleh siapapun, kalangan manapun. Dan dapat dengan mudah dijumpai di e-commerce atau toko-toko buku kesayangan pemiliknya.
"Membandingkan hubungan yang berakhir dengan yang sedang berlanjut, sama saja seperti membandingkan hidup dengan kematian. Gak ada gunanya." -- Bunda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H