Lihat ke Halaman Asli

veltin jemalu

Mahasiswa

Masa Depan Angkringan

Diperbarui: 12 Mei 2024   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika datang pertama kali di Jogja pada tahun 2021, saya kagum dengan pemandangan warung-warung makannya. Ada beberapa warung yang cukup asing bagi saya karena tidak ada di daerah saya seperti, olive chicken, gacoan, burjo atau warmindo, dll. Namun, yang menjadi menarik perhatian saya adalah angkringan. Saya suka dengan bentuk dan modelnya yang antik ( ada tungku arang, cerek besar, gerobak, dll), ditambah lagi dengan harga makanannya yang cocok dengan saku saya.
Saya mengira, angkringan awalnya hanya ada di Jogja saja.  Ternyata di kota lain juga ada seperti, Surakarta dan Ngawi. Menurut sejarah, angkringan diawali oleh mbah Karso atau Djukut yang berasal dari Desa Ngerangan, Bayat, Klaten. Pada awalnya, mbah Karso merantau ke Surakarta sekitar tahun 1930-an. Mbah Karso bekerja sebagai penjual terikan atau masakan khas Jawa Tengah dengan  kuah kental dan lauk tempe atau daging. Kemudian, pada tahun 1943 mbah Wiro mempunyai ide menambahkan cerek berisi kopi dan jahe pada pikulan masakan teriknya. Hal ini menjadi cikal bakal lahirnya angkringan pertama. Selanjutnya pada tahun 1975, pelaku usaha angkringan beralih menggunakan gerobak dorong yang dilengkapi terpal plastik, lampu, teplok, tungku arang, dan cerek besar. Penggunaan gerobak ini yang sekarang menjadi identitas dari suatu angkringan. Namun, sekarang gerobak angkringan tidak berkeliling seperti dulu lagi, tapi menetap di suatu tempat.
Dalam beberapa waktu terakhir ini, saya merasa khawatir dengan warisan budaya satu ini. Ada ancaman yang tidak terlihat dan masyarakat belum menyadarinya. Banyaknya warung makan baru akan mengancam keberadaan angkringan. Ditambah dengan berubahnya gaya hidup di masyarakat.
Ketika pulang kampus beberapa waktu lalu, saya secara tidak sengaja menemukan sebuah warung makan baru. Warung tersebut menjajakan daging ayam goreng yang dibuat sedemikian rupa. Warung tersebut sangat ramai. Sampai pengunjung rela antrean panjang untuk menunggu melahap makanan di warung tersebut. Saya dalam hati bertanya, kenapa pengunjung sampai rela menunggu selama itu? Pada hal masih banyak warung lain yang menjajakan ayam seperti, angkringan. Apa bedanya ayam di situ sama di angkringan? Terlepas dari soal rasa, saya di sini menyimpulkan ini merupakan soal gaya hidup dan menjaga gengsi. Duduk dan makan di warung  mewah terasa harga diri dan martabatnya tinggi ketimbang makan di angkringan atau warung murah lainnya. Esensi dari makan yakni “kenyang” tidak diperlukan lagi. Makan bukan lagi soal mengisi perut, tapi mengisi daftar menu harga diri.
Di sini, saya hanya mau menyampaikan bahwa angkringan adalah bagian dari warisan budaya Indonesia yang kaya. Angkringan bukan hanya tempat dijualnya makan-makanan lezat dan murah, tapi tempat nongkrong yang paling hangat dan warisan budaya. Maka, mari kita mempertahankan dan menghargai warisan budaya supaya identitas  dan masa depan angkringan terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline