Lihat ke Halaman Asli

Antoni Wijaya

Penulis blog, creative writer

Karena Mertua, Satu Keluarga Bisa Hancur

Diperbarui: 24 Mei 2022   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini, PN Jakarta Utara memutuskan perceraian sebuah keluarga Kristen dari Depok yang kebetulan memiliki KTP Jakarta Utara.

Pada awalnya, seorang perempuan Kristen mengajukan gugatan cerai di PN Jakarta Utara dengan tuduhan, sang suami bersikap tidak adil terhadap anak tirinya. Sebagai informasi, sebelumnya sang istri telah memiliki anak bawaan.

Selama proses mediasi, sang istri menolak untuk bersatu kembali. Setelah melewati persidangan, Hakim memutuskan tali pernikahan itu putus dikarenakan Sang Istri tidak mau mempertahankan pernikahan, sementara tuduhan ketidakadilan tersebut tidak terbukti.

Selain itu, seharusnya alasan dijatuhkannya perceraian adalah harus ada alasan yang cukup sesuai dalil gugatan, agar jatuh perceraian. Dalam hal ini, alasan "karena sudah tidak mau lagi" tentu tidak cukup, karena perkawinan bukanlah pacaran.

Sementara fakta-fakta dipersidangan, sang suami memiliki banyak waktu untuk mengurus anak karena dia seorang wiraswasta dan sangat bersedia untuk mengurus buah hatinya. Bahkan keputusan pengadilan adalah boleh bertemu anak dengan seijin dan sepengetahuan ibunya, seolah sang suami adalah seorang terdakwa yag berbuat jahat.

Kerugian berikutnya, adalah pengadilan membebankan pemberian nafkah karena hak asuh diambil sang ibu, padahal bukan salah dia jika terjadi perceraian. Sementara sang suami siap membesarkan anaknya di bawah bimbingannya.

Dalam hal ini, keputusan hakim merupakan pelanggaran terhadap asas pembuktian. Yaitu, jika penggugat gagal membuktikan dalilnya, maka Penggugat kalah, dan gugatan ditolak.

Lebih buruk lagi, bahwa perceraian ini diakibatkan oleh provokasi dari pihak ketiga, yaitu ibu dari penggugat yang secara intens melakukan intimidasi moral terhadap pihak istri (anaknya).

Selama persidangan, sang Ibu penggugat bahkan berani bersaksi palsu di bawah alkitab. Ini adalah bagian terburuk dari karakter Ibu sang isiri.

Lebih diperparah, bahwa selama hampir 7 bulan, sang Suami dilarang untuk bertemu dengan anak yang disayanginya, dengan alasan Belum ada kesepakatan soal perceraian.

Walaupun tidak terbukti, Hakim tetap memutuskan bercerai karena "berasumsi" jika pernikahan dilanjutkan tidak akan menjadi baik, kemudian hak asuh diambil sang Ibu yang bekerja sebagai resepsionis di sebuah perusahaan retail pakaian di Jakarta Selatan, dan hanya punya waktu sabtu dan minggu hanya karena umur sang anak masih balita. Artinya, keseharian anak akan dipegang oleh ibu sang istri yang notabene adalah biang dari perceraian ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline