Seperti yang kita ketahui, bahwa untuk warga Negara non-muslim, maka ketentuan tentang perkawinan di atur oleh undang-undang yang bersifat umum. Jika Islam memiliki asas undang-undang perkawinan sendiri, maka bagi non-muslim menggunakan asas undang-undang yang umum.
Sebetulnya, untuk tahapan menikah itu sendiri tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika sebuah rumah tangga terjadi konflik yang bisa berakibat pada perceraian.
Dalam hal ini, tidak ada perlindungan yang sesuai dengan bunyi Alkitab dalam hal perceraian. Karena pada dasarnya, perceraian adalah dilarang dalam Kristen maupun Katolik.
Bunyi Pasal 39 (1) UU No. 1 th 1974, yaitu:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Secara hukum, bunyi pasal ini tidak salah. Tetapi bagi umat Kristen, maka bunyi pasal ini sangat tidak melindungi iman Kristen yaitu:
Matius 19:6
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Secara eksplisit, sudah jelas bahwa Alkitab melarang perceraian.
Hari-hari ini, dengan alasan yang disyaratkan oleh UU Perkawinan tentang perceraian yang popular dipilih oleh pasangan yang ingin bercerai adalah, karena terjadinya pertengkaran yang terus menerus. Sungguh secara iman Kristen, alasan tersebut sangat tidak masuk diakal. Bahkan jika terjadi KDRT pun, Kristen masih meminta untuk tidak bercerai.