Lihat ke Halaman Asli

Pena-pena di Ujung Jemariku

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_116181" align="alignleft" width="283" caption="Sumber Gambar : Google"][/caption]

Yogyakarta, kuliah semester dua...

Dia bilang, aku terlahir dengan kutukan yang telah Ayah hembuskan sejak aku masih dalam kandungan, bahkan mungkin sejak Ayah merencanakan keberadaanku dalam rahim Ibu. Kutukan yang semestinya kupatuhi mengingat tanpa sperma dan keringatnya aku tidak akan eksis sampai detik ini.

Kemarin sore, dia membakar jiwaku. Mengejekku bahwa aku ini lebih mirip dengan orang-orang bodoh yang ada dalam sebuah film India yang kami kagumi kemarin. Dia menganalogikan Ayahku sebagai Virus yang membunuh anaknya dengan senjata kutukan sebelum lahir.

“Anakku, kelak Kau akan menjadi seorang insinyur!” begitulah bunyi kutukan Virus kepada anaknya yang masih ada dalam nyawa sang Ibu.

Sedikit berbeda dengan Ayahku. Kutukan ayah memang cocok untuk anak perempuan seperti aku. “Anakku, kelak kau akan membuatku bangga dengan menjadi guru, ekonom, atau akuntan!”

Dan kutukan itu masih melekat hingga ujung syarafku saat ini.

...

Mbak Namira memberikan motivasi yang membangkitkanku untuk menguak kembali luka lama. Luka yang hampir saja kulupakan setelah hampir setahun kutekuni kuliahku di sebuah universitas negeri, Jurusan Pendidikan Ekonomi. Selama ini, telah kucoba untuk memetik dan menginternalisasikan setiap helai keseriusan untuk mewujudkan kutukan Ayah. Ah, maaf Ayah, lebih tepatnya: untuk mewujudkan harapanmu.

***

Cilacap, kelas dua SMP.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline