Lihat ke Halaman Asli

Vedro Imanuel

Mahasiswa UPN Veteran Jakarta

Kawin Tangkap dan Konsekuensi Hukumnya

Diperbarui: 22 Februari 2021   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Is Ariyanto

Kawin tangkap adalah isu yang sudah lama jadi pergumulan dari tahun ke tahun, khususnya di daerah Sumba. Di masyarakat Sumba sendiri banyak yang menganggap kawin tangkap sebagai budaya dari nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun. Khususnya di daerah pedalaman Sumba seperti di Kodi dan Wawewa.

Tetapi nyatanya, bahkan terminologi kawin tangkap sendiri tidak ada dalam dialek atau bahasa Sumba. Istilah kawin tangkap sendiri pertama kali dicetuskan pada tahun 2005 oleh Salomi Rambu Iru atau Mama Salomi. Oleh karena itulah, sebagian lain dari masyarakat Sumba tidak setuju jika kawin tangkap dikatakan sebagai budaya masyarakat Sumba. Namun lebih kepada suatu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang.

Kawin tangkap selalu menimbulkan luka dan narasi kekerasan serta ketidakadilan bagi setiap korban. Apalagi jika motivasi dari kawin tangkap ini hanya hadir dari satu pihak saja. 

Video yang sempat viral menunjukkan mengenai praktik kawin tangkap pada 6 Desember serta 16 Juni lalu memicu reaksi dari masyarakat luas. Banyak yang marah ketika tahu adanya praktik kawin tangkap, karena selama ini masih banyak yang menanggapi biasa mengenai kawin tangkap. Walau sebenarnya perlawanan terhadap hal ini menurut Martha Hebi, relawan SOPAN, sudah dilakukan sejak lama.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa kawin tangkap adalah bentuk kekerasan seksual, yaitu pemaksaan perkawinan. 

Perempuan dalam hal ini menjadi korban karena dirampas kebebasannya dan mengalami kerugian hak konstitusional. Pasal 10 Ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa perkawian yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas dari calon pasangan yang ingin menikah sesuai peraturan perundang-undangan.

Para pelaku kawin tangkap bahkan bisa dijerat pidana sesuai Pasal 332 Ayat 2 serta Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan pelaku bisa mendapat ancaman pidana penjara maksimal dua belas tahun sesuai Pasal 333 Ayat 3 KUHP. Kekerasan yang mungkin terjadi selama proses kawin tangkap juga berpontensi dipidana sebagai kasus penganiayaan.

Konstitusi negara sangat menghargai identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional. Namun, hal-hal semacam itu sama sekali tidak bisa dibuat menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Penyelesaian secara restorative justice mungkin bisa menjadi alternatif bagi masyarakat adat. Karena hendaknya hal semacam ini diatasi sedapat mungkin dengan mencari simpul-simpul dari kearifan lokal.

Upaya-upaya untuk mencoba memperbaiki penyimpangan yang dikaitkan dengan perbuatan melawan adat serta tradisi harus terus dilakukan. Hal ini sebagai perjuangan nilai untuk memberikan perlindungan bagi setiap anggota komunitas, khususnya perempuan, yang sangat rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline