Lihat ke Halaman Asli

Panggil Aku Sebagaimana Kau Mau!

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebut saja aku Upik, Butet, Genduk atau siapalah...

Anakku enam, pria semua, dan semuanya hanya berjarak satu tahun. Bayangkan saja, pasti seperti tempat penitipan anak. Belum lagi rumahku yang sempit dan kumuh. Owh, bukan ! jangan sebut rumah, karena menurutku kurang tepat jika kusebut sebagai rumah apalagi lebih spesifik dengan sebutanrumahku. Kenapa kurang tepat? Pertama karena itu hanya sepetak ruang yang berdinding geribik, berukuran berapapun aku kurang tahu. Kedua, karena itu bukan milikku...aku menyewanya dengan biaya Rp. 150.000/bulan itupun sering menunggak.

Yang jelas dari sepetak ruang itu hanya aku tambahkan kain panjang untuk memisahkan bahwa aku punya kamar tidur dan ruang tamu. Yah, hanya itu. Tanpa dapur apalagi kamar mandi dan wc khusus. Untuk kepentingan mandi cuci kakus tentu saja di sumur bersama dibelakang petak ruangan itu, bersama dengan penghuni petakan-petakan yang lain. Benar sekali, aku hanya tinggal di petakan bedeng kecil. Untuk keperluan memasak, ya semua aku lakukan diruang tamu. Ruang tamu hanya sebutanku saja, maka cobalah sekali waktu kau berkunjung dan dapatilah apakah tepat disebut ruang tamu? Kau akan lihat baju dan mainan berserakan dilantai, kemudian banyak hiasan didinding geribikku, ada panci, wajan, serok dsb. Tapi sungguh aku akan sangat menghargai tamuku, jika kau hadir maka aku akan dengan sigap segera membereskan dan membersihkan lantai ruang tamuku (yang sudah banyak berlubang itu) dari mainan anak-anakku, dari berserakannya baju, juga dari kompor minyakku. Mau tahu dimana aku simpan kompor minyakku? Aku simpan dibawah kolong dipan tempat tidurku ;-) Tapi jangan paksa aku untuk memindahkan hiasan didinding geribikku ya? Sejujurnya aku bilang : sudah tak ada ruang. Menyedihkan ya? Tapi tidak, aku bahagia kok..

Sebut saja aku Upik, Butet, Genduk atau siapalah...

Usiaku 31 tahun, sedangkan usia suamiku 28 tahun. Hm, jangan heranlah...suamiku memang lebih muda dari aku. Boleh kan suami lebih muda? Dan tidak perlu aku ceritakan bagaimana awal mula aku bertemu dengan suamiku, tapi yang jelas kami saling mencintai, saling menghargai, saling menghormati. Oiya, anakku yang tertua berumur 8 tahun, jadi hitunglah sendiri usia berapa aku dan suamiku menikah.

Perlu kau tahu bahwa suamiku sejak masih membujang hingga menjadi suamiku hanyalah berprofesi sebagai sorang tukang becak yang berangkat pagi dan pulang kerumah pukul 22.00 WIB, kembali disiang hari hanya untuk makan siang. Aku yakin, beban berat dipundaknya demi menghidupiku dan keenamputra kami, belum lagi biaya sekolah anakku yang pertama. Sehingga wajar saja suamiku terlihat tampak 10 tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya. Tiga anakku yang lain mestinya sudah masuk sekolah, tapi belum ... karena ketiadaan biaya. Sedangkan aku murni ibu rumah tangga yang tidak memiliki keterampilan dan tak mampu meski sekedar menjadi tukang cuci sekalipun untuk membantu mencari nafkah. Rasanya juga tak mungkin aku bisa bekerja, waktuku sudah seluruhnya tercurah untuk anak-anakku, pekerjaan rumahku dan tetek bengeknya. Terdengar melelahkan kah ? Yah, begitulah....aku tidak memungkirinya.

Tapi kemudian jangan cerca aku dan menyalahkan aku kenapa begitu banyak anakku. Aku kurang paham dengan urusan KB, ribetnya, biayanya, aahhh..buat aku makin pusing. Atau mungkin menyalahkan aku dan suamiku yang bercinta? Setidaknya aku tidak menggugurkan kandunganku dan tetap merawat buah hatiku. Okelah, silakan salahkan aku tapi jangan salahkan suamiku. Salahkan aku karena tak mampu menolaknya, itu saja. Jangan salahkan suamiku. Untuk memahaminya terkadang aku harus berpikir bahwa aku seorang pria, seorang suami. Kau bisa coba jika mau.

####

Siang itu..

Dua anakku yang besar seringkali main bersama teman-teman sebayanya di lapangan becek seberang bedengku yang kumuh. Aku bersama dengan anak-anaku yang lain, juga ibu-ibu tetangga bedengku biasanya ngobrol ngalor ngidul didepan pintu. Ada yang sambil cari kutu, ada yang makan, ada yang menyusui bayinya dengan mengabaikan buah dadanya...aduuh aku malu sendiri melihatnya. Macam-macam aktivitasnya. Parahnya terkadang ada juga tetanggaku yang membiarkan anaknya buang air besar dilantai teras yang sudah kehilangan semennya, kemudian nanti hanya dipungut dengan plastik kresek. Lagi-lagi makin memberikan kesan kesan jorok dan kumuh bedeng geribikku. Menyedihkan....

Dipojok lapangan becek itu ada sebuah warung kecil milik seorang janda beranak satu. Usianya sepertinya tak jauh dengan usiaku, hanya saja dia lebih cantik dan lebih terawat ketimbang aku yang sudah menelurkan 6 jagoan. Tentu saja bukan hanya faktor jumlah anak, tapi...dia lebih punya duit ketimbang aku. Aku tidak seberapa mengenalnya, hanya sesekali aku membelanjakan uangku diwarungnya meski sekedar membeli kue-kue kecil untuk anak-anakku. Sepintas kulihat, dia wanita baik dan sayang anak-anak. Herannya, rupanya dia yang sering jadi topik pembicaraan ibu-ibu disekitarku. Hanya karena dia janda. Hanya itu kah? Aneh, apa salahnya menjadi janda. Sudahlah aku tak mau ikut-ikutan, walau mereka bilang dia perempuan tak baik aku tak peduli. Mereka bilang bahwa dia berpisah dengan suaminya karena selingkuh, aku tak peduli. Tapi kenapa ada yang bilang suaminya meninggal karena kecelakaan? Sudahlah, aku pun tak peduli. Sejak itu aku benci sekali jika mendengar kata : janda, janda dan janda. Aku kasihan padanya....

Sebut saja aku Upik, Butet, Genduk atau siapalah...

Sengaja aku ceritakan kisahku itu padamu. Bukan mengharap belas kasihanmu, sama sekali bukan. Aku hanya ingin bantuanmu. Jangan takut dulu, aku tak meminta uangmu, tak meminta makanan dirumahmu. Cobalah sesekali datang berkunjung ke bedeng tempatku menyewa. Jangan salah, bukan untuk bertamu kerumahku tapi tolonglah berbincang-bincang dengan ibu-ibu sebelah bedengku itu. Tolonglah cari tau, apakah merekapun membicarakannku? Konyol dan kurang kerjaan ya ? Aku sedih menyampaikan ini. Tapi aku ingin kau tahu. Sekedar tahu tak apalah, jadilah pendengar setiaku, yah..cukup mendengarku itu sudah membuatku lega.

Sebut saja aku Upik, Butet, Genduk atau siapalah...

Untuk kau tahu...

Dua hari kemarin aku resah menunggu suamiku yang tak kunjung pulang hingga tengah malam. Anak-anakku sudah berkelana dalam alam mimpinya, mungkin bermimpi makan es krim, karena aku belum pernah membelikannya. Bukan aku tak mau, aku ingin..hanya saja aku lebih mengutamakan beras dan minyak tanah yang harganya makin meninggi. Aku tak bisa tidur, aku putuskan untuk pergi keluar menuju pangkalan tempat biasanya suamiku mangkal sekitar 200 meter dari bedeng sewaanku. Pintu aku kunci, hanya si bungsu yang aku gendong. Aku berjalan cepat. Tapi aku tenang, terlihat becak suamiku masih mangkal. Tapi kenapa ada ribut-ribut dibawah pohon beringin kecil itu? Tak salah, kau benar dia suamiku. Dengan siapa suamiku ? bukan, kau salah...suamiku tidak bersama wanita lain atau bahkan janda pemilik warung dipojok lapangan becek itu. Suamiku bertengkar, entah dengan siapa aku tak kenal. Aku mendekat.

“ Bang, pulang. Tak usahlah ribut-ribut !”, ujarku seraya terus mendekat.

“ Ya, sebentar. Ini urusan laki-laki, tak usah turut campur ya.”, kata suamiku santai.

: Aku mau pulang sama Abang, sekarang ! “, aku masih memaksa

“ Duluanlah, jaga anak-anak. Kasihan anak-anak kau tinggal dirumah”

Akhirnya dengan berat hati aku pulang kerumah. Aku menunggu dirumah. Tapi sudah pukul 01.00 wib suamiku tak kunjung pulang. Aku benar-benar tak bisa tidur, itu diluar kebiasaan suamiku. Sampai akhirnya datang seorang rekan suamiku, tergopoh-gopoh memberitahukanku bahwa suamiku dibawa ke Puskesmas karena terluka. Luka tusukan. Bumiku serasa gelap, seperti banyak kunang-kunang dimataku. Anakku mulai terbangun satu persatu karena gaduhnya dan kerasnya suara teman suamiku tadi. Aku pasrah berdoa, semoga suamiku baik-baik saja. Kemudian gelap..benar-benar gelap, mungkin aku tertidur atau pingsan. Ketika aku terbangun suasana rumahku sudah ramai dengan tangisan anak-anakku, juga sebagian ibu-ibu yang menenangkan aku juga anak-anakku. Belum jelas penglihatanku, aku mendengar suara sirine. Ambulance, ya..itu sirine ambulance.Aku kembali merasa gelap tapi berusaha menahan sekuat tenagaku. Owh tidak, itu bukan ambulance melainkan mobil jenazah. Tangisan membahana. Benarkah mobil itu mengantar jenazah suamiku?

Kau kuberitahu...

Suamiku mengenakan pakaian jawa khas dalang yang dia sukai. Meskipun kami orang Sumatera Barat tapi suamiku banyak pakaian batik dan dua buah baju dalang garis coklat item. Tentu saja pemberian dari orang lain. Di baju khas dalang itu, ada tiga bekas luka tusukan di dada yang tembus ke punggung. Sama halnya dengan luka yang ada ditubuh suamiku tembus mengenai jantungnya. Petak bedengku seketika ramai orang melayat juga wartawan harian umum setempat. Sampai saat ini aku tidak tahu apa sebab dan siapa pelaku penusukan suamiku. Kata orang itu tugas polisi sedang mencaritahu. Aku hanya memikirkan bagaimana aku melanjutkan hidupku dengan anak-anakku.

Sekali lagi tolong aku...

Berbincanglah dengan tetanggaku itu sampaikan pada mereka aku baik-baik saja. Aku sering mendengar selentingan bahwa yang membunuh suamiku adalah pacar dari janda beranak satu pemilik warung dipojok lapanga becek itu, tapi aku tidak peduli. Pun ketika mereka bilang aku adalah janda yang gatel mencari kesenangan sendiri tanpa memikirkan anak-anak. Sampaikan pada mereka bahwa anak-anakku baik-baik saja walau memang ditempat yang berbeda yaitu mereka aku titipkan di panti asuhan. Itu juga bukan mauku, tapi setelah proses pemikiran panjang dan pemilik panti sendiri yang mendatangiku.

Sampaikan juga pada mereka bahwa aku tidak melacur. Aku mendapatkan uang dengan berjualan martabak dimalam hari bersama ibuku. Aku juga mendapatkan simpati dan empati dari orang-orang yang peduli denganku baik itu berupa uang ataupun pakaian anak untuk anak-anakku. Sejujurnya aku berat menerima semua itu, tapi aku tak punya pilihan lain. Tolong jangan cerca aku, sungguh aku tidak melacur. Besok aku akan pindah serumah dengan ibuku, tak apalah walau sama-sama dikontrakan yang kecil dan kumuh tak jauh dari tempatku semula.

Aku menjanda...

Aku tak ingin jadi janda ...

Tapi aku tak punya pilihan...

Terimakasih karena kau tak mencercaku...

Panggil aku Upik, Butet, Genduk atau apa saja yang kau suka..

#####

( Untuk seorang ibu, janda beranak 6 tak jauh dari rumahku)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline