Lihat ke Halaman Asli

Surat untuk Puan

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di lain kertas kita menyapa hati. Senyuman kasih tiada berpaling janji. Jua tak lagi mendengar suara merdu nyanyian suci. Iringi labuhan insan tanpa benci.Puan.. Berpulang tiada berkendara. Meninggalkan jejak nafas asmara. Titip salam pada pertiwi. Ku menanti harapan tanpa pasti.Puan.. Masih mengapung di genangan tenang. Bertahta dalam garis kesetiaan,tiada benci dustapun enggan. Bukan karena hadirnya mentari. Setianya pelangi menunggu hujan reda. Tabahnya embun menanti malam usai.Puan.. secangkir tak sanggup ku teguk. Tak banyak air yg berselisih dg bibirku. Apalagi dahagaku, telah lelah berdiri tegak. Sejak pergi tanpa bertanya padaku.Puan.. Kepada malampun aku enggan bercengkrama. Setiap kisah mengulang drama. Ceritakan padaku peranmu disana. Seperti kita dahulu merajut romansa, Ataukah seperti sekarang diriku yg masih menyanding pilu.Puan.. Dalam mimpi ku harap engkau menyapa. Meski dalam nyata hendaklah mustahil. Puan.. Secarik kertas tempat kita bersyair kata. Tersimpan rapi dalam sanubari pengarangnya. Puan.. Masihkah ku mendulang airmata utk tercinta, Sedangkan di bibirmu senyum bertahta.Puan.. Suratku tiada bernama. Tapi bernyawa dan berhati.. Dia bercinta, Bersama kenangan ku menanti, Meski mimpi kau sangat berarti. . . -Alfian Pikoli-, Gorontalo, 25 Agustus 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline