Lihat ke Halaman Asli

Salju di Bulan Oktober (Pada Salju yang Turun)

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin akhir musim panas mulai galak. Entah apa yang terjadi dengan  tubuhku. Aku hampir tak bisa menerima terpaannya secara langsung. Badan ku akan menggigil hebat saat dia menyelusup ke pundak, membuatku harus selalu memakai secarik kain di leher. Ini sedikit mengganggu  sebenarnya, karena aku tak begitu suka benda itu menempel di sana. Serasa tercekik!  Walau begitu, aku sangat menantikan musim segera berganti. Musim favoritku, Autum.

Aku suka saat melihat dunia penuh warna. Saat pertama aku menginjakkan kaki di bumi empat  musim ini adalah Autum. Saat itu mataku tak bisa berkedip sedikit pun. Aku tak ubah anak kampung yang baru melihat “megahnya” Jakarta.Tidak!  Ini terlalu hebat dari itu. Bagaimana mungkin dedaunan itu berwarna kuning, jingga, orange? Hei! Walaupun aku pernah mendapatkan pelajaran itu sekilas, tentang tumbuhan yang merubah warna atau meranggas untuk menyesuikan diri dengan musim, tetap saja bagiku ini semua kemustahilan yang nyata! Dan kemustahilan yang terbesar adalah aku, anak seorang kuli pengambil pasir di sungai, bisa melihat keindahan alam ini secara langsung. Bukan hanya  gambar di buku pelajaran Kang Budi yang sekolah di SMK Pariwisata, atau film – film Hollywood. Sebuah title yang disematkan pada Autum tidaklah pas, menurutku. Autum bukan lambang kemuraman, dia berwarna. Dia bisa membuat hati tersenyum. Sekali lagi, ini menurutku dan untukku begitu.

Adapun dengan salju, akupun sangat mencintainya. Selalu ku kakatakan pada Asyguel dan Sergio, bahwa aku membenci Winter dan teramat mencintai salju. Tentu saja, mereka mengerutkan alis saat pertama mendengarnya. Dan aku tak pernah mau menjelaskan kenapa. Aku selalu berprinsip, tak ada alasan untuk sebuah cinta. Seperti  Ibu yang mencintai Bapak, Bapak mencintai  pekerjaan  yang bisa merenggut nyawanya kapan saja,  juga Ibu Bapak yang mencintai kami, anak – anak mereka. Begitupun aku kepada salju. Mereka itu putih, bersih, dan suci. Seperti awan – awan di atas langit yang berjatuhan ke bumi membawa kedamaian. Adapun kedatangannya yang menghapus warna –warni dunia saat Autum, aku tak pernah menyalahkannya. Dia hanya objek, utusan yang ditugaskan Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNYA pada kita, makhluk yang berfikir. Seperti aku yang kini entah sedang memikirkan apa. Duduk di pinggir sungai yang airnya mulai kurasakan tak sesegar beberapa minggu yang lalu. Aku biarkan angin meniup-niup syal di leherku. Hijaunya rerumputan di seberang sana mulai mengering. Tak seperti biasa, ada rasa yang aneh di dadaku. Ini memang tanda musim berganti. Seperti yang ku bilang tadi, musim favoritku. Tapi aku tak seantusias tahun-tahun yang lalu. Getir. Perih. Sesak.

“Kommst Du wieder hier,  Kleine ?” Apakah kamu akan kembali , sayang? Asyguel membuyarkan sedikit apa yang entah sedang berkecamuk di otakku.

“Weis nicht.” Ga tau Jawabku sekenanya tanpa memalingkan wajah dari laju air sungai di hadapanku.

“Aku akan kehilanganmu. Sergio sudah pasti.” Lanjutnya. Pun tanpa mengalihkan perhatian dari Smartphonenya.

“Kau tahu, Ayesha…Sergio dan aku akan selalu mendukung apapun yang kamu putuskan. Diantara kita, Kamulah sedari dulu yang paling keras kepala dan tak bisa diganggu gugat.” Wajahnya sudah mengarah padaku dengan tatapan tajam. Matanya yang coklat muda dan alis tebal selalu mengingatkanku pada Bibiku, adik Bapak.

“Danke, Asy. Aku tahu kalian bisa aku andalkan” Aku mencoba tersenyum.

Dia membalas senyumku. Ah…senyuman yang manis akan selalu membuat cair rasa terkejutku akan tatapan tajamnya.

“Entahlah, kali ini aku merasa tak sepercaya pada pilihanmu terdahulu” Tentu saja, ucapannya barusan membuyarkan senyum di bibirku.

“Es ist einfach irre, weisst Du?” Ini Gila, Kamu Tahu?

Aku sangat mengerti apa yang ada di pikiran sahabatku ini. Bukan hal yang mudah memang mengambil jalan pulang saat kesempatan untuk pergi terbuka lebar.

“Hier, in Oesterreicht ist dein Traum! Du hast schon lange von ihr getraumt. Deine Zukunft, Yesha!” Di sini, di Austria mimpimu berada. Kamu sudah lama bermimpi  tentangnya. Masa depanmu, Yesha! Tangannya berseliweran di udara. Seperti itulah saat dia berbicara dengan penuh semangat dan emosi. Aku tak menjawab, hanya diam. Bisu. Kurapihkan letak syalku, mengulur waktu memutuskan jawaban apa yang akan ku katakan.

“Aku hanya takut semua tak berjalan baik.” Lanjutnya

“Aku akan pastikan itu tak akan terjadi, Asy” Kutatap dia, mencoba menutupi ketakutanku pada apa yang dia takutkan. Benar. Akupun belum sepenuhnya yakin dengan keputusanku ini. Tapi aku harus memilih.

Sejak kecil aku diajari untuk menentukan apa yang lebih aku sukai dan bertanggung jawab atasnya. Dari mulai mainan yang akan bapak buatkan untuk ku, karena kami terlalu “sederhana” untuk membeli, sekolah mana yang akan aku tuju, serta jalan mana yang akan ku tempuh untuk mengarungi dunia. Aku selalu bisa dengan mudah  mendapatkan apa yang aku pilih. Tentu dengan tanggung jawab dan konsekwensi yang selalu ku emban dengan senang hati. Tak pernah ada keraguan saat  harus memutuskan apa yang aku inginkan. Pada saat kesempatan untuk ku terbang ke Eropa pun, tanpa babibu aku langsung mengambilnya. Tapi pilihan satu ini, sungguh membuat ku mati kutu. Sebuah dasar yang membuat aku merasa yakin adalah ucapan Ibu yang selalu menjadi pengantar tidur ku. Bahwa wanita hanya sebagai penampung, Dulang pinande *sunda. Dia tak bisa bebas memilih, tapi berhak menolak. Tentu saja, ini berurusan dengan akhir sebuah perjalanan gadis lajang.

“Ku dengar akhir bulan Oktober ini, salju akan turun untuk beberapa hari.” Ucapan Asyguel menghalau lamunanku.

“Das ist zwei  woche vor deinem Flug.” Itu 2 minggu sebelum penerbanganmu.Sambil membenarkan ikatan rambutnya dia melanjutkan.

“Kamu masih dapat menikmati salju, cintamu itu. Mungkin untuk yang terakhir kali sebelum kau pulang” Dia rangkul pundak ku. Hangat. Jauh lebih hangat dari biasa. Aku memeluk nya dengan segenap hati. Aku tahu, untuk beberapa saat lagi saja aku bisa mendamaikan hati ku padanya. Sebelum aku bertarung dengan keadaan atas apa yang aku pilih. Sebuah jalan yang seperti lorong gelap dan panjang yang aku tak tahu apa dan bagaimana akhirnya.

Di kejauhan ku lihat Sergio melambaikan tangan sambil menenteng  tas kecil nya. Senyum  yang khas tak lupa ia kembangkan. Di mata ku senyuman itu berganti dengan senyuman yang lama tak ku lihat langsung. Senyuman yang teramat ku benci karena telah membuat ku, selalu merasa ada makhluk aneh yang bergerak liar di perut.. Senyuman yang seseorang pemiliknya selalu menjengkelkan dengan segala perhatian , namun aku menikmatinya. Senyuman yang pemiliknya sudah berhasil mencuci otak kedua orang tuaku. Pemilik ini juga yang telah membuat Ibu dengan sengaja menelpon hanya untuk meyakinkan aku pada sebuah jalan yang amat asing di depanku, menanti untuk dilewati. Telpon jarak jauh itu hanya menyisakan satu kalimat yang terus terngiang.

“ Bahkan seorang ibu rumah tangga biasa tanpa gelar sarjanapun bisa sukses. Sukses menjaga nama baiknya, nama baik suaminya, dan sukses mendidik anak-anaknya hingga menjadikan mereka pribadi yang baik.”

========================================================================

*Panggilan akrab atau sayang kepada seseorang yang dianggap lebih kecil. Dalam hal ukuran tubuh atau usia.

Akhernya kelaaar walaupun ngancur tur ngasal... ya sudah,  selamat selamatan aja, yaaa...


Salam narsis *_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline