Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Hanya Kartini?

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika seorang guru yang sedang mengajar di depan puluhan muridnya kemudian bertanya siapa tokoh emansipasi wanita? Serentak Semua murid menjawab:KARTINI. Nama pahlawan wanita ini amat masyur. Mungkin paling dikenal diantara para pejuang yang lainnya. Siapa bangsa Indonesia yang tidak mengenal Kartini? Setiap tahunnya kita memperingati hari kelahirannya yang dijadikan sebagai simbol emansipasi wanita. Tanggal 21 April (hari kelahiran RA Kartini) kita merayakannya dengan berkarnaval memakai pakaian adat. Saat ini pula sejarah tentang beliau berulang-ulang kita dengar dari guru saat masih di bangku sekolah dasar. Mungkin ini yang membuat beliau lebih dikenal. Emansipasi wanita adalah sebuah pergerakan sebuah sikap dan pemikiran bahwa wanita mempunyai hak yang sama dengan seorang laki-laki (Kesetaraan gender). Pada masa sekarang, semua wanita sudah bisa memiliki pendidikan yang tinggi, memiliki pemikiran yang maju, mempunyai karir yang semuanya sudah disetarakan dengan kaum laki-laki. Kita bisa melihat wanita kini sudah mengisi di pemerintahan, perkantoran, bahkan militer. Wanita yang bekerja bukan lagi dianggap pelanggaran norma dan nilai di masyarakat. Inilah emansipasi.

Lalu bagaimana kehidupan sebelumnya? Gambaran kehidupan wanita dahulu menurut surat-surat RA Kartini kepada teman-temannya di Eropa, yaitu penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Perjuangan RA Kartini lebih pada ide dan gagasannya terhadap pembaharuan untuk kaum wanita. Beliau sendiri wafat dalam usia yang ke-25 pada tanggal 17 September 1904. Melalui surat-suratnya untuk teman-temannya di Eropa yang dikumpulkan oleh JH Abendanon, kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Diketahui banyak keingingnan-keinginan RA Kartini mengenai kemajuan kaum perempuan. Perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Itulah akar mengapa tiap tahun kita memperingati hari kelahirannya. Untuk mengenang perjuangannya (dalam sebuah ide dan gagasan) untuk emansipasi kaum wanita. Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh perjuangan wanita yang lain?

Kita semua tahu perjuangan Cut Nyak Dhien. Seorang wanita dari bumi Aceh yang berjuang layaknya kaum lelaki. Langsung ke medan peperangan diatas kuda melawan Belanda hingga masa tuanya. Beliau juga cerminan bahwa perempuan harus sekuat kaum pria. Wanita lebih dikenal lebih perasa dan cengeng. Tretapi tidak dengan beliau. Contohnya saja saat suaminya-teuku Umar- meninggal tertembak peluru Belanda, ketika anak wanitanya-Cut Gambang-menangis, beliau justru menampar anaknya dan berkata: "Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid." . Cut Nyak Dhien tiada berhenti berjuang. Pada masa tuanya dia mempunyai penyakit rabun, hal inilah yang menyebabkan beliau tertangkap. Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk. Sesungguhnya Emansipasi telah lahir sebelum RA Kartini terlahir. Hanya masih dalam perjuangan dengan senjata, dan bukan di tanah Jawa.

Mungkin emansipasi kini lebih condong kepada masalah pendidikan. Perjuangan RA Kartini dinilai lebih maju dan modern. Cita-citanya lebih ke masalah sosial dan pendidikan. Jika bicara masalah pendidikan mengapa tidak melihat sosok Dewi Sartika dari tanah Sunda. Pada tahun 1902, beliau telah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Walau  hanya di ruangan kecil, bagian belakang rumahnya di Bandung, beliau mengajarkan seperti membaca, menulis, menjahit, memasak, dan sebagainya di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Tidak hanya itu, sekolah perempuan pertama kali di tanah Hindia-Belanda berhasil didirikan tanggal 16 Januari 1904 dengan nama "Sakola Istri" (Sekolah Perempuan) . kemudian pada tahun kesepuluh berubah menjadi "Sakola Kautamaan Istri". Semangatnya berhasil mencapai Bukit Tinggi, sekolah ini didirikan oleh Encik Rama Saleh. Tahun 1920 seluruh kabupaten di pasundan sudah berdiri sekolah ini. Pada tahun 1929, Sakola Keutamaan Istri mencapai usia ke-25 dan berubah nama menjadi "Sakola Raden Dewi". Dewi Sartika adalah salah satu tokoh permbaharuan kaum wanita.

Lalu mengapa tokoh emansipasi seakan-akan hanya pada seorang RA Kartini seorang? Masih ada beberapa pahlawan wanita lainnya selain diatas. Tetapi simbolisasi RA Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita seolah-olah mengaburkan yang lainnya. Bahkan hari peringatan kelahirannya dijadikan hari libur nasional. Lalu mengapa tidak untuk yang lainnya? Ada sebagian yang menyatakan bahwa mungkin diperngaruhi oleh kepemimpinan Indonesia yang lalu dipegang oleh keturunan Jawa, maka tokoh emansipasi wanita jatuh ke RA Kartini yang masih keturunan Jawa. Kembali lagi ke masalah emansipasi wanita, Mengapa tidak jatuh ke Dewi Sartika yang memang perjuangannya hingga berdirinya sekolah bagi kaum wanita? RA Kartini belum mendirikan sekolah, sedangkan dewib sartika justru telah mendirikan sejak tahun 1904. Setidaknya simbolisasi emansipasi wanita jangan mengacu pada satu orang, tetapi secara keseluruhan. Jika emansipasi wanita dikaitkan dengan kemajuan wanita dalam bidang kesetaraan pendidikan, mengapa hari emansipasi wanita tidak didirikan pada tanggal berdirinya pertama kali sekolah untuk wanita di Indonesia? Jangan salah menafsirkan tulisan ini. Saya bukan orang yang tidak menghargai perjuangan RA Kartini, tetapi justru saya sangat bangga dengan perjuangan beliau. Kekaguman saya terhadap beliau menggali keinggintahuan saya terhadap pahlawan wanita yang lainnya. Bukan hanya sekedar tahu "nama" tetapi perjuangannya. Ternyata tokoh emansipasi wanita tidak bisa mengacu pada satu orang, tetapi banyak yang lainnya yang tidak kalah hebat. Dari sinilah timbul pertanyaan: Mengapa Hanya Kartini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline