Lihat ke Halaman Asli

Menggantungkan Hidup pada Suara Hewan

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, menggantungkan hidup pada suara hewan. Apa yang anda pikirkan ketika mendengar ataupun membaca pernyataan tersebut?. Sebuah perlombaan kicauan burung perkutut yang lantas menghasilkan uang bagi pemengnya?, bukan. Seorang pedagang yang mendapat keuntungan berlimpah setelah berhasil menjual burung beo peliharaannya yang sangat pandai berucap?, juga bukan. Lalu apa?.

Pengalaman inipun saya alami pada pekan lalu tepatnya pada hari Kamis, 25 Oktober 2012 lalu, saat saya kembali ke kota itu bersama beberapa orang teman. Kota yang setelah sekian lama tak lagi saya pijak, yaitu kota Wonogiri.Kota yang seringkali mendapat julukan “kota gaplek” dimana hasil utama pertaniannya adalah singkong. Ya, sebuah kota yang juga merupakan sebuah kabupaten, yang kini menjadi tempat tinggal saya juga kedua orang saya.

Seperti biasa, sayapun segera bergegas menyusuri jalanan kota Yogyakarta demi memburu waktu untuk segera sampai di rumah. Sayapun segera naik bus antar provinsi untuk menuju Solo. Jalananpun nampak begitu ramai dan padat akan lalu lintas kendaraan.Selain itu hilir mudik orang yang berlalu lalang untuk berebut bus demi kembali ke kampung, juga semakin menambah padatnya lalu lintas di jalanan.

Semua dilakukan demi satu tujuan yang sama, yaitu untuk menikmati daging kurban bersama keluarga dalam hari raya Idhùl Adha. Begitupun dengan saya, yang juga ingin kembali bersua dengan keluarga sekaligus berkumpul dalam hari raya kurban. Meskipun harus menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, yang tentu cukup melelahkan.

Setelah dua jam duduk di bus, saya sampai di Terminal Tirtonadi Solo. Sayapun harus segera melanjutkan perjalanan menuju Wonogiri. Sayapun harus kembali berebut dengan para penumpang lain yang juga hendak melanjutkan perjalanan mereka. Buspun dipadati oleh para penumpang. Bahkan, disela-sela kursipun dipenuhi oleh orang-orang yang berdiri demi segera sampai di Wonogiri.

Dan seperti biasa, perjalanan itu diselingi oleh para “pengiklan jalanan”. Entah itu para pedagang asongan, peminta-minta, ataupun para pengamen. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang-orang yang telah berumur. Mereka mengumpulkan kepingan rupiah demi rupiah untuk menyambung hidup. Meskipun mereka harus meminta-minta dari orang lain.

Namun bila ditelisik lebih jauh, para peminta-minta itu telah melakukan berbagai inovasi agar ia bisa memperoleh belas kasihan dari orang lain. Ada yang menyodorkan amplop satu per satu pada penumpang dengan bertuliskan “Saya tuli tidak bisa bekerja. Mohon sumbangan dari para penumpang yang dermawan untuk biaya anak saya sekolah.” Ada juga seorang ibu yang mengamen dari bus ke bus dengan mengajak anaknya yang masih bayi. Adapula anak kecil yang masih cadel dan belum begitu fasih dalam berucap, bernyanyi dengan belepotan demi memperoleh uang.

Tetapi, ada yang lebih memprihatinkan. Bukan tentang penampilan maupun kondisi dari para pengamen itu. Namun para pengamen anak muda yang notabene masih remaja. Berpenampilan sangar dan memaksa penumpang untuk memberi, adalah potret para pengamen remaja masa kini. Dan sayapun menyaksikannya langsung di depan mata saya sendiri dalam perjalanan pekan lalu.

Ya, sekelompok pengamen yang masih remaja dan terdiri dari tiga orang, memaksa untuk bisa mengamen dalam bus ketika bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Merekapun menerobos padatnya bus yang sesak, lantas mereka berdiri di tengah penumpang yang juga harus berdiri karena sudah tidak ada lagi kursi kosong. Dengan penampilan ala anak punk dan bermodal sebuah gitar, merekapun bernyanyi tanpa mempedulikan kondisi bus yang begitu penuh.

Sebelum bernyanyi, para pengamen itu sedikit berbasa-basi untuk memohon izin pada para penumpang. Namun, kata-kata yang terlontar dari mereka cukup memekik telinga dan asing untuk didengar. Seorang dari merekpun berkata, “Tolong hargai suara kami ya, Pak, Bu, dan para penumpang semua. Suara kami adalah suara hewan. Meski penampilan kami berbeda dengan kalian semua,tapi dimata Tuhan kita sama dan gak ada bedanya.” Lantas, merekapun bernyanyi.

Dengan suara pas-pasan, mereka menyanyikan sebuah lagu yang entah itu lagu apa. Setelah selesai seorang dri merekapun kembali berkata, “Tolong Pak, Bu, Neng, hargai suara kami ya. Suara kami suara hewan dan yang bisa kami lakukan hanyalah menjual suara untuk makan. Bagi yang gak memberi sekedar tahu aja,bahwa kami jual suara untuk cari makan.

Setelah usai, merekapun berkeliling untuk meminta uang dari para penumpang. Dan ketika ada penumpang yang tidak memberi, seorang dari pengamen itu kembali berkata, “Bu, kasih aja ya, buat makan ya, suara kami suara hewan,bu" seraya ia terus menunggu hingga penumpang itu memberinya uang. Kata-kata itupun terlontar ketika ada penumpang yang tak memberinya uang.

Berkali-kali mendengar kata “suara hewan,” sayapun penasaran apa maksud kata itu. Akhirnya sebuah kursi disamping teman saya pun kosong dan pengamen yang dari tadi mengucapakan kata itupun duduk disitu. Karena memiliki rasa penasaran yang sama, Rendra, seorang dari teman sayapun memberanikan diri untuk mencoba mengobrol dengan pengamen itu. Kamipun terkejut setelah mengobrol meski hanya sebentar.

Pengamen itu tak mau menyebut namanya. Dan beginilah obrolan kami dengannya (dialih bahasakan dalam bahasa Indonesia). Untungnya meski berpenampilan sangar, pengamen itu mau untuk ngobrol.

“Dapet banyak,mas?,” tanya Rendra.

“Ya, buat makan aja,” jawabnya.

“Udah lama ngamen,mas?,” tanya Rendra lagi.

“Dari lulus SMA kemarin, karena cari kerja gak dapet-dapet,” jawabnya.

“Kalau boleh tahu maksud kata-kata mas tadi bahwa suara kami adalah suara hewan itu apa?,”.

“Ya itu tadi, saya adalah bagian dari pengangguran Indonesia. Padahal sudah pendidikan wajib 12 tahun tapi gak bisa kerja, bahkan di pabrik kecil aja gak diterima. Kami mengibaratkan diri sebagai hewan yang suara akan keluhannya gak didengar apalagi ditanggapi pemerintah karena terlalu kecil bagi mereka yang di atas.” Namun setelah itu, ia lalu berdiri dan turun tanpa permisi.

Dari sekilas obrolan itu, kamipun menarik kesimpulan. Bahwa kata “suara hewan” adalah mewakili pengangguran Indonesia yang jumlahnya terus meningkat dan pemerintah tak juga segera bertindak untuk menuntaskannya. Namun justru hanya mementingkan pembangunan di perkotaan saja, dan cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline