Di balik gempuran masa muda yang penuh warna, tersembunyi realitas kelam bagi sebagian remaja SMA. Fenomena verbal bullying, bagaikan pisau bermata dua, menghantui koridor sekolah dan meninggalkan luka mendalam bagi para korbannya.
Kata-kata kasar, ejekan pedas, hinaan, dan julukan kejam bagaikan senjata ampuh yang dihunjamkan berkali-kali, merenggut rasa percaya diri dan menjerumuskan korban ke dalam jurang kesedihan. Tak jarang, verbal bullying ini berujung pada depresi, kecemasan, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Faktor pendorong di balik maraknya verbal bullying di SMA beragam. Kurangnya empati dan toleransi, minimnya edukasi tentang bahaya bullying, serta budaya patriarki yang masih mengakar kuat, menjadi biang keladi yang memperparah situasi.
Dampak verbal bullying tak hanya berhenti pada korban. Pelaku pun terjerumus dalam lingkaran setan kekerasan, berisiko mengalami gangguan mental, dan terhambat perkembangan sosialnya.
Menanggulangi verbal bullying membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak. Sekolah perlu menerapkan kebijakan anti-bullying yang tegas, diiringi edukasi berkelanjutan bagi siswa, guru, dan orang tua.
Orang tua pun harus menjadi garda terdepan dalam menumbuhkan empati dan rasa hormat pada anak. Diperlukan komunikasi terbuka dan dukungan penuh untuk membantu korban verbal bullying bangkit dan pulih.
Masyarakat luas pun tak boleh tinggal diam. Kampanye anti-bullying dan edukasi publik perlu digalakkan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap isu ini.
Mari kita bersama-sama ciptakan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif, di mana setiap remaja merasa dihargai dan terhindar dari luka verbal bullying. Ingatlah, kata-kata memiliki kekuatan besar, dan kekuatan itu harus digunakan untuk membangun, bukan menghancurkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H