Keabadian adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam dunia yang fana ini. Apalagi jika kata itu dilekatkan kepada benda dalam alam semesta. Setiap makhluk pasti akan mengalami proses kepunahan. Setiap benda pasti akan berproses menjadi susunan organik maupun non organik yang berbeda dari asalnya.
Otak kita pernah mendownload sebuah doktrin, bahwa hanya Tuhan lah yang abadi. Sebagai yang mencipta, Ia tidak akan habis termakan ruang dan waktu. Tetapi slogan ini akan mengundang pertanyaan bagi orang yang berfikir. Siapakah yang pernah mengikuti dan menyaksikan keabadian Tuhan?
Tuhan membuat hidup segala sesuatu dengan meniupkan RUH. Mengapa istilahnya Meniupkan? Seolah-olah Ruh itu seperti asap yang ditiupkan kepada sesuatu yang menggelembung. Penafsiran istilah seperti ini kurang tepat, apalagi jika kata Ruh dikaitkan dengan sesuatu yang hidup dan bergentayangan di tempat-tempat keramat. Karena tidak sedikit orang yang mengucapkan kata Ruh dalam kalimat berikut:
"Grup Band itu sudah kehilangan RUH nya"
"PANCASILA adalah RUH bangsa Indonesia"
Ruh adalah kata dalam bahasa arab yang berasal dari kata "RIYAHA", atau dalam bahasa Indonesia artinya "Angin". Asal kata angin ini yang menggambarkan bahwa Ruh itu ditiupkan. Dengan ditiupkan Ruh, maka segala sesuatu bisa hidup, bergerak kembali. Ruh tidak dapat dilihat sebagaimana kita tidak bisa melihat wujud dari Angin, tetapi Ruh itu bisa datang dan bisa pergi seperti angin. Bisa ada dan bisa hilang, tergantung dari sikap objek yang ditiupkan Ruh.
Sama efeknya dengan ILMU yang bisa menghidupkan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohan. Dengan ilmu manusia bisa "bangkit untuk hidup" dari kebuntuan persoalan yang dihadapinya. Tetapi ketika ilmu itu dipergunakan hanya untuk memuaskan egonya, maka keberadaannya akan merusak manusia lain. Walaupun ilmu eksak/sosial yang menambah gelar akademisnya demikian panjang, tetapi jika dipergunakan tidak sejalan dengan kemauan Tuhan, maka ia akan terhitung dalam orang-orang yang MATI. Karena ternyata keberadaan dirinya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, tetapi menjadi duri dalam daging bagi keharmonisan tatanan manusia.
Ilmu ajaran Tuhan inilah yang dahulu pernah diajarkan kepada Adam, ketika ia diajarkan nama-nama, sifat-sifat, perilaku segala sesuatu di alam semesta, termasuk tingkah laku komunitas manusia. Sehingga Adam bisa menjadi kholifah, menjadi pemimpin. Tentu Tuhan tidak akan mengenakan status pemimpin bagi manusia yang tidak memiliki pengikut dari manusia lainnya.
Ilmu sifatnya abadi. Ia tidak akan tergerus oleh ruang dan waktu. Ilmu itu terbagi dua, ada yang mengarah kepada kebenaran, dan adapula yang mengarah kepada keburukan. Hingga kini orang masih mengakui dan memanfaatkan ilmu listrik yang ditemukan oleh Thomas Alfa Edison, walaupun ia telah meninggal dalam kurun waktu yang sudah lama, dan kesejatian ilmu listrik akan terus berlaku pada masa datang. Begitupula ilmu pengkhianatan yg dilakukan oleh Brutus ketika menusuk Julius Caesar dari belakang, sampai kapanpun ilmu negatif itu akan terbuka untuk digunakan manusia.
Dengan demikian ilmu itu adalah Ruh yang ditiupkan kepada manusia. Dan Ruh kebenaran adalah Ruh yang diajarkan oleh Tuhan, bukan oleh Brutus, maupun iblis yang menipu Adam. Jika manusia yang dipercaya memimpin manusia lain, tetapi dari kepemimpinannya justru mendatangkan kesusahan dan keterpurukan rakyat jelata sebagai bagian dari orang-orang yang dipimpinnya, itu berarti yang menggerakkan kesadaran bukan Ruh dari Tuhan. Karena Ruh Tuhan membimbing manusia kepada kebenaran, bukan ketimpangan.
Manusia yang memiliki Ruh Tuhan tidak akan merusak alam dengan berbagai tambang tanpa kontrol, ia tidak akan berbuat curang kepada manusia lainnya, ia tidak akan mencuri hak orang lain dalam berbagai kasus, ia tidak akan memanfaatkan kebodohan orang lain untuk mendapatkan penghormatan bagi dirinya, ia tidak akan menjadi ular berkepala dua ketika memutuskan perkara yang menyangkut kepentingan diri maupun golongannya. Tetapi ia akan menjadi kepanjangan tangan Tuhan dalam merawat alam dan isinya. Menjadi manusia yang selalu bermanfaat bagi manusia lainnya, bahkan kepada orang yang memusuhinya.
Begitupula bagi manusia yang menggunakan ilmu untuk menipu manusia lain, ia akan diingat hingga ribuan tahun dalam peradaban manusia dikarenakan ilmu yang diperoleh dipergunakan hanya bagi kepentingan diri sendiri maupun golongannya.